56. Murka Ibu

7.8K 799 29
                                    

Nadiem

Entah apa yang lebih mengejutkan Mama, fakta bahwa aku sudah menikah atau aku menikah dengan Dinda. Apa pun itu, Mama tidak bisa menerimanya dengan baik.

Aku menyodorkan minum kepada Mama ketila kesadarannya mulai pulih.

"Ibumu enggak percaya waktu aku bilang kamu sudah punya pacar. Ya aku pikir dia pacarmu, bukan istrimu." Renata terkekeh.

"Shut up."

Renata memang tutup mulut, tapi tatapannya justru menantangku.

Aku ingin segera pergi dari sini, tapi Mama menahanku. Aku gelisah karena Dinda memilih untuk menunggu di luar ketimbang menemaniku di sini.

Suara kasak kusuk menyita perhatianku. Pintu terbuka dan wajah berang Papa muncul di sana. "Apa-apaan ini?" Tanyanya.

Mama bersikap dramatis. Dia meletakkan tangan di dada, seolah jantungnya tidak lagi bisa bekerja dengan baik dan itu semua karena aku.

"Papa tahu Nadiem sudah menikah?"

Papa menataoku dengan kening berkerut. "Kamu sudah menikah?"

Mama kembali merasa tersakiti saat menatapku. "Kamu menikah tanpa memberitahu Mama?"

Ini alasanku tidak memberitahu mereka. Pernikahan itu tidak akan pernah terjadi jika mereka tahu. Mama tidak akan peduli sekalipun saat itu Ayah sedang sekarat, dia akan melakukan segala cara untuk membatalkan pernikahan itu.

Dinda. Aku harus menghampiri Dinda.

Mama bisa berubah jadi licik jika ada yang menghalanginya. Aku baru saja mengumpankan Dinda ke kandang buaya.

"Terserah kamu mau menikah atau tidak, Papa cuma minta kamu untuk jaga sikap. Di luar ada banyak orang penting untuk karier Papa. Jangan bikin kacau," geramnya.

Aku tertawa miris. Apa yang kuharapkan dari Papa? Beliau pantas menyandang gelar manusia paling egois.

"Pa..." jerit Mama.

Papa mengabaikan Mama. Tatapannya menatapku dengan nyalang.

"Nadiem, kamu tahu ini penting buat Papa. Papa memintamu pulang bukan untuk membuat kacau. Jadi, apa pun yang kamu lakukan, Papa enggak peduli. Sebentar lagi, Papa akan membuat pernyataan soal maju di Pilkada. Sampai saat itu tiba, kamu jaga sikap," tegas Papa.

"Termasuk soal Global Persada?" Ini bukan saat yang tepat untuk membahas hal tersebut tapi aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.

"Kita bahas nanti."

Aku menahan diri untuk tidak tersenyum. Papa masih bersemangat mengembangkan karier politiknya, jadi dia tidak ingin ada yang mengganggu. Papa pernah bilang, sebagai pebisnis, penting untuk memiliki kekuasaan politik. Setiap keputusan politik bisa memengaruhi arah perekonomian. Papa tidak bisa mengandalkan koneksi ke penguasa demi menjamin bisnisnya, dia memutuskan untuk langsung menjadi penguasa.

"Pa..." Mama kembali menjerit. "Dia menikah dengan Dinda. Dinda!!!"

Jeritan Mama begitu keras, tapi Papa masih tidak peduli.

"Terserah dia mau menikah dengan siapa," balas Papa. Beliau benar-benar tidak peduli padaku. Dirinya jauh lebih penting dibanding apa pun.

Mama menggeram. "Dinda itu anak pembantu kita, Pa."

Akhirnya Papa benar-benar memperhatikanku.

"Mama menjodohkan Nadiem dengan Stacy. Papa kenal Stacy. Keluarganya bisa mendukung Papa nanti. Tapi Dinda? Apa yang bisa kita harapkan dari anak pembantu?" Suara Mama terdengar menggelegar.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now