19. In The Club

9.3K 817 57
                                    

"Jangan langsung pulang dong." Tami menggandeng lenganku saat menahanku sebelum masuk ke dalam lift. "Sekarang kan Jumat. Anak-anak mau nongkrong."

"Siapa aja?"

Sebelum Tami menjawab, aku dikejutkan oleh suara tawa yang muncul dari pintu yang terbuka. Ada Arlan serta beberapa anak OnStyle, juga Bear, Donita, dan beberapa anak BeautyLab.

"Tuh, udah pada datang."

Aku sudah membuka mulut, tapi Tami telanjur menarikku masuk ke dalam lift.

"Ikutan Din?" tanya Bear.

Aku menunjuk Tami dengan dagu. "Dipaksa Tami."

"Jumat ini, Din. Lagian belum deadline, jadi enggak masalah nongkrong dulu." Arlan ikut menimpali.

Arlan lagi-lagi membuatku bertanya-tanya. Semalam, dia tidak memberiku kejelasan dan sepanjang hari ini, dia makin membuatku bingung. Selama dua minggu bekerja di sini, belum pernah Arlan seterbuka ini saat bersamaku. Dia bahkan menghampiri ke meja dan mengajakku makan siang.

Aku pernah menduga Arlan punya multiple personality karena ada banyak jenis kepribadian Arlan yang kutemui. Dan aku tidak tahu, pribadi apa yang akan bertemu denganku setiap kali bersama Arlan.

Mereka membawaku ke The H Club, klab besar dan eksklusif di daerah SCBD. Terlambat untuk mundur, karena Tami dan yang lainnya menahanku. Aku tidak punya pilihan lain, selain merelakan uangku habis untuk hal enggak penting.

Hidupku tidak seperti mereka. aku perlu berpikir panjang untuk mengeluarkan ratusan ribu dalam sekali nongkrong. Sementara mereka tidak pernah bermasalah dengan uang.

"Lo enggak minum kan?" tanya Tami.

Aku menggeleng.

"Baguslah, jadi gue ada temannya. Gue juga enggak suka minum," jawabnya.

"Terus, ngapain lo ikut?"

Tami merentangkan tangannya. "Gue suka suasananya, gue suka nongkrong sama teman-teman."

Aku mengikuti Tami menuju meja yang dipesan Matthew, atasan Arlan di OnStyle. Dari desas desus yang kudengar, Matthew dan Donita memang party goers, jadi setiap Jumat, dia pasti open table di klab dan mengajak anak-anak lain untuk ikut. Mungkin ini pertama dan terakhir kalinya aku nongkrong dengan mereka.

Aku pernah memaksakan diri, dan hanya membuatku tidak nyaman.

Perhatianku tersita saat merasakan handphone-ku bergetar. Aku mengeluarkannya dan melihat ada pesan dari Nadiem.

Nadiem: Kamu belum pulang?

Aku refleks memukul kening karena lupa mengabari Nadiem. Jangan bilang dia sudah di rumah dan kelaparan tapi enggak ada makanan.

Dinda: Sorry lupa ngabarin. Aku lagi sama teman-teman, pulangnya malam.

Nadiem: No probs. Aku pikir kamu sudah pulang. Aku juga masih di kantor.

Dinda: Lembur?

Nadiem: Apa lagi? Kamu kira-kira pulang jam berapa? Masih di SCBD?

Dinda: Aku di The H.

Nadiem: Aku baru tahu kamu suka clubbing. Jangan mabuk.

Sebaris senyum terkembang di wajahku saat membaca pesan itu.

Dinda: Tenang aja, aku enggak suka alkohol. Aku ikutan nongkrong aja. Mereka kayaknya bakalan sampai pagi, tapi nanti aku pulang duluan.

Nadiem: Let me know kalau mau pulang. Kalau aku masih di kantor, bisa barengan.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang