13. Sunday Fun Day

11.2K 944 48
                                    

Hujan sepanjang hari membuatku tidak bisa ke mana-mana. Lagipula, aku tidak punya tujuan dan keinginan untuk berkeliaran di luar. Di saat kehidupanku masih baik-baik saja, aku paling malas nongkrong atau jalan-jalan tanpa tujuan. Hanya membuang-buang uang. Terlebih sekarang. Berdiam di apartemen Nadiem jelas menjadi pilihan yang bijak.

Aku tidak menyangka jika Nadiem juga memilih hal yang sama. Kesibukannya yang tidak kenal waktu kadang mengharuskannya untuk bertemu rekan bisnis atau menghadiri acara penting di akhir pekan. Nadiem seolah tidak mengenal kata libur.

“Bukannya Mas mau pergi?” tanyaku.

Nadiem melirikku. Dia menepuk sofa di sebelahnya, memintaku duduk di sana.

“Malas keluar rumah, hujan. Lagian acaranya enggak penting.” Nadiem meneguk bir dari botol yang berada di tangannya. Baru kali ini aku melihat Nadiem minum minuman keras, meski aku menemukan banyak botol bir di dalam kulkas. “Acara bakti sosial yang diadakan partainya Papa.”

Aku mengangguk tanpa suara. Di saat yang sama, handphone Nadiem berdering. Dia hanya meliriknya tanpa ada niat untuk mengangkatnya, lalu kembali mengalihkan perhatian ke televisi yang menyala di hadapannya.

“Enggak diangkat?”

Nadiem tertawa ketus. “Malas. Itu asistennya Papa, dia pasti lagi marah-marah karena aku enggak datang. Nina juga pasti enggak datang.”

“Kenapa Mas enggak mau datang?”

“Dan ketemu orang-orang yang bisanya cuma menjilat demi memenuhi keinginan pribadi? I’d rather die.”

Nada benci di suaranya terdengar begitu jelas, membuatku terkesiap.

Nadiem sepertinya menyadari karena dia segera melunakkan ekspresi wajahnya. dia meletakkan botol bir yang sisa setengah di meja lalu menyambar remote.

“Mau lanjut nonton?” tanyanya.

“Sekarang giliranku.” Aku merebut remote dari tangan Nadiem dan menyalakan Netflix. Kemarin dia yang menguasai remote dan aku tidak bisa melakukan apa-apa selain ikut menonton. Pilihan Nadiem jatuh pada film action dan thriller berdarah-darah yang membuatku mual.

Aku bisa saja memilih tontonan yang aman. Namun, aku memilih Bridgerton.

“Are you kidding me?” Nadiem terkekeh.

Aku mengambil bantal kursi dan memeluknya sembari mencari posisi duduk yang nyaman. Masalahnya semua posisi membuatku serba salah karena ada Nadiem di sebelahku. Tubuhnya menguarkan aura panas yang membuatku terbakar di tempat. Aku bahkan sempat melirik AC, berharap AC tidak menyala dan aku punya alasan kenapa begitu kepanasan. Sayangnya, AC tersebut baik-baik saja, jadi satu-satunya alasan di balik keringat dingin yang mengucur di tubuhku adalah karena Nadiem.

“So, Netflix and chill.”

Ucapan Nadiem membuatku tersedak. Aku cukup kesulitan menahan tawa. “Dulu aku pikir artinya Netflix and chill ya literally begitu. Nonton Netflix bareng sambil santai.”

Nadiem menatapku dengan sudut mata, tanpa suara memintaku melanjutkan cerita.

“Pembacaku calling out kesalahan itu di salah satu ceritaku. Malunya masih kerasa sampai sekarang. Aku enggak pernah ambil kelas penulisan kreatif atau ikut course penulisan, tapi harusnya aku tahu buat enggak lakuin kesalahan kecil tapi fatal cuma karena aku malas riset dan sok tahu,” beberku.

Kali ini, Nadiem tidak lagi menyembunyikan tawanya.

“Jadi, pernah?” tanyanya.

Aku menoleh dengan kening berkerut. “Apa?”

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora