69. Ancaman Berbisa

4.5K 736 20
                                    

Dinda

Priska menahanku, tapi aku tak lagi peduli pada sopan santun. Sekalipun mereka memecatku saat ini juga, aku tidak peduli. Aku bahkan tidak yakin masih ingin bekerja dengan mereka yang menzalimi Ibu. Satu hal yang kupelajari, mereka tidak akan berhenti sampai semua keinginan terpenuhi, tidak peduli jika dalam prosesnya ada pihak yang tersakiti.

Mereka punya segalanya. Harta, kuasa, semua hal yang bisa membuat orang sepertiku tidak berdaya.

Aku membuka pintu ruangan Pak Malik. Dia sendirian di dalam ruangan itu. Raut wajahnya menunjukkan rasa tidak suka saat melihat siapa yang mengganggunya.

"Maaf, Pak. Saya sudah mencegah." Di sampingku, Priska tampak pucat. Ini bukan salahnya, dia mencegahku tapi aku tidak mempedulikannya.

Pak Malik menyuruh Priska keluar. Dia tidak menutupi kekesalannya saat aku berada di depannya.

"Saya harap kamu punya hal penting yang membuatmu berani mengganggu saya," ucapnya dingin.

Beliau begitu berbeda dengan Nadiem. Tidak ada sedikit pun rasa hangat yang dipancarkannya. Sorot matanya yang tajam begitu bengis. Bagaimana orang-orang bisa luluh pada citra yang ditampilkannya dan memilihnya sebagai wakil rakyat?

Aku tidak menduga akan berhadapan dengannya. Hal ini kuputuskan secara mendadak, setelah mendengar penuturan Nadiem. Percuma menghampiri Nyonya, aku tidak akan bisa melawannya.

Namun, Nyonya tidak akan berdaya di depan suaminya.

"Ibu saya masuk penjara." Aku membuka mulut.

Pak Malik bersandar di punggung kursi. Wajahnya yang dingin masih menghadapku.

"Ibu dituduh mencuri dan menggelapkan uang selama bekerja untuk Bapak. Saya enggak perlu memberi tahu siapa yang membuat tuduhan palsu itu, Bapak paati bisa menebak," lanjutku.

Nyonya pasti bertindak sendiri. Tidak mungkin Pak Malik terlibat dalam permainan konyol seperti ini. Dia seorang pebisnis, sekaligus politisi, Pak Malik tidak akan mungkin mengotori tangannya. Setiap tindakannya pasti penuh kalkulasi, sementara tuduhan ini terasa sebagai hasil dari tindakan impulsif. Itu yang membuatku yakin Nyonya bertindak sendiri tanpa sepengetahuan suaminya.

Raut wajahnya begitu datar, aku tidak bisa membacanya. Tanpa sadar, keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku.

Aku sudah melangkah sejauh ini. Tidak ada waktu untuk mundur.

"Saya bisa memberitahu publik tentang hal ini. Seorang mantan asisten rumah tangga dituduh mencuri oleh istri politikus meski tanpa bukti. Public will love it." Aku tertawa sinis.

"Seyakin apa kamu tuduhan itu tanpa bukti?" Ujarnya. Nada suaranya begitu dingin dan tanpa perasaan.

"Karena saya kenal seperti apa istri Bapak."

"Saya tidak ada waktu untuk permainan seperti ini," desisnya.

Aku mengambil langkah maju, semakin dekat ke arahnya hingga hanya meja yang memisahkan.

"Saya juga tidak ada waktu untuk meladeni manusia picik seperti Bapak dan istri Bapak." Aku membalas, berusaha untuk tetap tenang meski jantungku begitu riuh. "Saya akan mempublikasikan berita ini, dan Bapak tahu pengaruhnya seperti apa. Publik bakalan senang ada seorang politikus yang bisa jadi bulan-bulanan."

"Kamu mengancam saya?"

Aku menggeleng. "Saya tidak ingin terlibat dengan keluarga Bapak. Sudah cukup selama ini orang tua saya hanya diam setiap kali kalian memperlakukan mereka dengan tidak adil, tapi kali ini sudah sangat kelewatan. Ibu saya tidak pantas berada di penjara," tegasku.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now