44. Keputusan

6.4K 844 42
                                    

Kondisi Ayah serba tidak pasti. Sepanjang hari ini, Ayah terlihat baik-baik saja. Aku sempat optimis bahwa Ayah akan segera membaik. Dua atau tiga hari lagi, Ayah sudah boleh pulang ke rumah.

Lalu malam ini, ayah tiba-tiba drop. Semua terjadi begitu saja.

Aku berpelukam dengan Ibu sementara dokter berusaha mencegah keadaan jadi makin memburuk. Aku mati-matian menguatkan diri, karena di situasi seperti ini, Ibu butuh pegangan.

Aku terkesiap saat merasakan ada yang menggenggam tanganku.

Nadiem.

Dia terlihat begitu tangguh. Begitu kokoh. Pilar kuat yang kubutuhkan sebagai tempat bsrsandar. Semua pertahanan yang kupaksakan, seketika luruh di hadapan Nadiem.

Aku teringat permintaannya tadi siang. Kalau tidak dalam situasi seperti ini, aku sudah mengagguk penuh semangat. Tidak ada yang membuatku ragu. Justru, ini yang kutunggu-tunggu, ketika Nadiem memintaku menjadi istrinya secara sungguh-sungguh.

Di situasi seperti ini, pernikahan tidak ada dalam benakku.

Aku hanya ingin Ayah sembuh, itu saja.

Perhatianku teralihkan ketika dokter menghampiri. Raut wajahnya yang datar membuatku kesulitan menebak apa yang akan disampaikannya.

"Bagaimana kondisi Ayah saya, Dok," tanyaku.

Dokter tersebut menatapku dan Ibu berganti-gantian. "Kita harus memantau keadaannya malam ini. Dengan kondisi sekarang, setiap pilihan yang kita punya ada risiko masing-masing. Dikhawatirkan, tindakan yang diambil bisa memperparah fungsi organ."

Aku memejamkan mata, merasakan pedih dan putus asa menguasai diri. meski tersirat, apa yang dimaksud dokter tersebut sudah sangat jela.

Harapan untuk Ayah semakin tipis.

Seandainya bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke masa lalu dan mencegah semua ini terjadi. Namun aku hanya manusia biasa, yang meski sulit, harus mengakui kekalahan dari waktu.

Ucapan Ibu kembali terngiang. Mungkin ini saatnya aku belajar tentang keikhlasan, meski sulit melakukannya.

"Saya tetap akan melakukan yang terbaik, tapi ada kalanya upaya manusia saja tidak cukup. Selagi masih ada waktu, saya harap pihak keluarga benar-benar memanfaatkannya dengan baik," lanjut dokter tersebut.

Aku terhenyak di kursi rumah sakit yang keras, tapi aku tidak merasa apa pun. Tubuh dan hatiku sudah kebas.

Ibu ikut duduk di sampingku. Tangannya menggenggamku erat. Di dalam sana, Ayah tengah berjuang melawan penyakitnya. Di sini, aku dan Ibu hanya bisa berdoa dan berserah.

"Kamu harus ikhlas, Nak," bisik Ibu.

"Ibu bisa?"

Di sampingku, Ibu menghela napas panjang. "Sulit, tapi tidak ada lagi yang bisa Ibu lakukan selain ikhlas. Sekarang kamu di sini, kamu bisa izin kerja?"

"Dinda bisa izin selama yang dia mau," potong Nadiem.

Aku menatapnya keberatan. Ini tidak adil bagi karyawan lain, tapi tatapan tegas Nadiem tidak memberikan ruang untuk membantah.

"Aku juga di sini," lanjut Nadiem.

"Pekerjaanmu?" tanyaku. Tidak mudah bagi Nadiem meninggalkan pekerjaannya.

Nadiem mengusap kepalaku. "Aku bisa bekerja di mana saja. Kamu tidak perlu khawatir. Yang penting sekarang kita di sini, untuk Ayah."

Aku menengadah, merasakan putus asa yang semakin membelit. Tanpa bisa dicegah, ucapan Ayah kembali terngiang di benakku.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now