60. Di Persimpangan Jalan

7.5K 821 18
                                    

Nadiem

"Kalau dari proyeksi ini, kita enggak bakal bisa survive lebih dari setahun." Aldi hanya membahasakan data yang terpampang jelas di depan mata.

Aku mengadakan meeting ini untuk membahas proyeksi ke depannya. Aldi dari BeautyLab, Stella dari OnStyle, dan Rahman dari DailyLife. Mereka memiliki pandangan yang sama denganku.

Perusahaan ini tidak bergerak maju. Malah sebaliknya, bergerak mundur. Keadaan keuangan kian memprihatinkan. Di usianya sekarang, seharusnya perusahaan ini mendapat suntikan ivnestasi yang bisa membuat kian maju.

Ketika Papa mengakuisisi DailyLife, lalu membentuk OnStyle dan BeautyLab, Papa tidak berpikir panjang. Ini salah satu keputusan Papa yang tidak kusetujui. Papa dengan mudah membentuk perusaaan kecil atau mengakuisisi perusahaan lain untuk keuntungan jangka pendek. Hanya demi mengelabui pajak dan keuntungan lainnya. Tidak berpikir panjang.

Selama ini Papa dan koleganya bisa lolos. Anak perusahaan yang didirikan lalu dibubarkan dengan mudah tidak pernah menimbulkan masalah. Lain halnya dengan Global Persada yang membawahi tiga anak perusahaan ini. DailyLife sudah lebih dulu ada, sebelum diakuisisi Papa. BeautyLab dan OnStyle langsung melejit begitu didirikan. Tentu saja akan timbul masalah baru jika perusahaan ini dibubarkan begitu saja.

Papa menyadarinya. Itulah yang membuatnya memilih untuk mengabaikan perusahaan ini hingga tidak bisa lagi diselamatkan dan bubar dengan sendirinya.

Sejak awal, aku sudah menyadari permainan kotor Papa. Awalnya aku tidak peduli. Aku pulang untuk menagih janji Papa dan mengincar jabatan tertinggi. Nyatanya, bermain di Global Persada seperti memberi makan pada jiwaku yang lapar dan kosong. Aku telanjur menyukai posisiku di sini. Aku tidak ingin menyerah pada permainan Papa dan mengabaikan semua potensi yang ada.

"Kalaupun kita berhasil dapat pendanaan tahap awal, enggak bisa buat bertahan lama." Stella mengutarakan hal yang sejak tadi ada di benakku.

"Kalau begini terus, mau enggak mau harus mulai efisiensi."

Satu kata yang kubenci. Aku tidak ingin melakukan hal tersebut. Ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya ke perushaaan ini. Melepas mereka sama saja dengan lari dari tanggung jawab.

Ini tanggung jawabku. Sebagai pimpinan, seharusnya aku membawa perusahaan ini bergerak maju. Bukannya sebaliknya.

"Kecuali kalau kita bisa dapat pendanaan besar." Aldi menambahkan.

Apa ini saatnya aku menurunkan ego dan menghadap Papa? Masih ada kesempatan untuk membujuk Papa mengurungkan niatnya. Tentunya tidak menggunakan cara licik seperti yang disarankan Renata.

Meski aku membenci Papa, jauh di dalam hati, ada bagian yang masih menghormatinya sebagai seorang pebisnis. Aku masih menyimpan harapan, semoga sisa-sisa jiwa pebisnis Papa masih ada dan menyadari betapa bodohnya keputusan ini.

"I'll talk to my father." Aku berkata pelan. Bicara dengan Papa sama saja dengan permainan kekuasaan. Saling adu kekuatan.

Selama ini, aku belum mendengar langsung apa alasan Papa yang sebenarnya. Mungkin saja masih ada kesempatan untukku dan Papa.

"In the mean time, gue saranin untuk memulai proses efisiensi." Rahman memberitahu.

Aku mengusap kening. "Jangan terburu-buru. Itu langkah terakhir yang harus kita ambil."

"Ini kita udah sekarat. Kalau mau maju, harus ada yang dikorbankan." Stella berusaha memberi masukan.

Aku mengerti. Aku pun setuju dengan usulan itu. Namun tidak mudah untuk mengeksekusinya.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now