20. Lesson Learned

9.7K 765 24
                                    

Aku menatap kotak yang disodorkan Nadiem. "Ini apa?"

Nadiem balas menatapku dengan wajah usil, membuatku jadi waspada. Aku menatap kotak tersebut dan Nadiem berganti-gantian, sembari mengingat momen apa yang membuat Nadiem memberikan hadiah kepadaku.

"Bahan belajar."

"Hah?" Aku sama sekali tidak bisa menebak maksud ucapannya.

Sambil menahan tawa, Nadiem menyurukkan kotak tersebut ke pangkuanku. "You'll thank me later."

Aku memegang kotak tersebut sambil menatap kepergian Nadiem. Hanya suaranya yang tertinggal, meski setelah dia menghilang ke dalam kamar.

Diikuti rasa penasaran, aku membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat pouch dari bahan beludru berwarna hitam yang diikat tali. Aku meraba-raba, merasakan benda panjang dan berbentuk lonjong di dalamnya. Rasa penasaran yang menjadi-jadi membuatku membuka pouch tersebut dan mengeluarkan isinya.

Mataku nyaris keluar dari rongga saat melihat apa yang berada di tanganku.

Sebuah penis silikon, lengkap dengan aksen urat yang bertonjolan dan dua buah zakar di bawahnya. Ada sebuah tombol di bagian bawah. Ketika aku menekan tombol tersebut, benda itu langsung bergetar dan membuatku refleks melemparkannya.

"Mas Nadiem..." jeritku. Sekarang aku mengerti arti ekspresi usil di wajahnya.

Aku mengambil vibrator tersebut dan mematikannya. Dengan setengah berlari, aku menuju kamarnya. Aku membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk. Peduli setan dengan sopan santun.

Nadiem tengah bersantai di window seat sambil membaca buku. Dia menengadah dan seketika cengiran lebiran memenuhi wajahnya ketika melihatku berdiri di tengah kamarnya dengan vibrator teracung.

Ini kali pertama aku berada di kamar Nadiem. Sepanjang tinggal di sini, tidak terhitung berapa kali muncul godaan untuk memasuki kamar ini. Bahkan saat Nadiem tidak ada, aku mati-matian menahan godaan untuk mengintip ke dalam kamarnya.

Sekarang berbeda. Aku berada di kamar Nadiem. Di tanganku ada vibrator berbentuk penis. Sementara Nadiem terpingkal-pingkal.

Jika keadaannya berbeda, mungkin aku ikut terbahak. Namun sekarang wajahku pasti memerah saking malunya.

Nadiem membelikan vibrator ini bukan tanpa alasan. Aku yang memulai semuanya. Aku masih ingat kejadian akhir pekan lalu, ketika aku berada begitu dekat dengan Nadiem dan terlibat pembicaraan yang seharusnya tidak terjadi. Sejak malam itu, aku sengaja menjaga jarak dari Nadiem. Lagi-lagi, aku berterima kasih atas kesibukan Nadiem sehingga mempermudah dalam mengambil jarak.

Hingga Nadiem yang isengnya kumat, dan membuatku harus menanggung malu.

"Ini apa?"

Nadiem menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Sepertinya kamu butuh buat memperdalam riset novelmu."

Ugh, kalau saja dia tahu semua pertanyaan yang kuajukan tidak ada hubungannya dengan novel.

"Aku enggak butuh. Ini buat Mas Nadiem aja." Aku meletakkan vibrator tersebut di atas kasurnya.

"Kan aku punya yang asli, enggak butuh begituan."

Beruntung aku sudah memutar tubuh sehingga dia tidak melihat wajahku yang semerah kepiting rebus. Ucapannya mengingatkanku kepada penisnya yang mengintip dari balik bantal, ketika aku tidak sengaja memergokinya telanjang di dapur.

Aku tidak berkata-kata lagi. Aku sengaja mengentakkan kaki saat keluar dari kamarnya, tidak peduli jika tingkahku seperti anak kecil.

***

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now