8. Circle

8.2K 852 39
                                    

Satu bulan berlalu dan hidupku masih sama. Malah kian memburuk. Deretan angka di rekening membuatku ingin menghilang saja dari muka bumi.

Bagaimana caranya untuk bertahan hidup?

Uang yang tidak seberapa itu tentu tidak cukup menanggung semua kebutuhan. Aku dihadapkan pada pilihan yang tidak bisa kupilih. Jika aku memakainya untuk membayar kos, aku harus beli makan dengan apa? Kalau tidak membayar kos, aku tinggal di mana? Tidak mungkin luntang lantung di Jakarta seorang diri.

Apa ini pertanda sebaiknya aku melupakan ego dan pulang? Orang tuaku tidak akan kecewa, tapi aku yang akan menanggung kekecewaan.

Perutku berbunyi pertanda lapar, tapi aku enggan beranjak. Aku semakin meringkuk di balik selimut, mati-matian menahan tangis.

Selama isi pikiranku dipenuhi oleh cara bertahan hidup dan segera mendapat pekerjaan, aku tidak bisa produktif. Tak ada satu pun hal produktif yang bisa kulakukan. Terlebih setelah pekerjaan freelance dibatalkan. Sehari-hari aku hanya bisa merenungi nasib.

BeautyLab, satu-satunya harapanku, membuatku harus mempersiapkan diri untuk menelan kekecewaan karena belum memberikan kabar.

Getar handphone membuatku tersentak. Aku merogoh ke balik bantal dan mengambilnya. Detik itu juga aku menyesal karena yang mengirin pesan adalah ibu kos yang mengingatkan agar tidak terlambat lagi bayar uang kos.

Sesak di dada semakin menjadi-jadi. Apa yang harus kulakukan?

Ajakan Nadiem melintas di benakku. Sejak malam itu, aku sering terpikirkan tawaran yang diberikannya. Terlebih saat keadaan makin berat, tawaran itu semakin menggiurkan.

Namun, aku tidak bisa menerimanya begitu saja.

Sekali lagi, getar handphone mengagetkanku. Keningku berkerut saat mendapati telepon dari Ibu.

"Halo, Bu?"

"Dinda, Ibu ganggu kamu kerja?"

Dalam hati, aku tertawa miris mendengarkannya. Ibu tidak tahu kalau setiap hari aku hanya tidur.

"Kenapa, Bu?"

"Kamu ada uang? Ibu butuh tambahan untuk menebus obat Ayah."

Aku sontak terduduk. "Ayah sakit?"

"Ada infeksi di lambung, tapi ini sudah boleh pulang dari rumah sakit," sahut Ibu.

"Kok aku enggak tahu Ayah masuk rumah sakit?" Aku tidak sengaja berteriak.

"Ayah enggak mau kamu khawatir. Lagipula, ini sudah diizinin pulang," tukas Ibu.

Aku menggigit bibir untuk menahan tangis. Selama ini aku terlalu fokus pada diriku sendiri sehingga tidak tahu ayahku masuk rumah sakit. Perasaan bersalah menjalar kuat di hatiku.

"Nanti aku transfer uang buat obat." Aku menepis kekhawatiran akan uang kos dan biaya hidup ke depan. Yang penting kesehatan Ayah.

"Makasih ya, Din. Nanti Ibu ganti."

Aku tertawa miris. "Enggak usah, Bu. Nanti sekalian aku kirimin uang bulanan juga."

"Jangan. Kamu pasti lebih butuh uang di sana." Ibu menolak.

"Minggu depan juga aku sudah gajian." Gajian dari mana?

"Kamu baik-baik ya di sana. Nadiem bilang, kamu bisa telepon dia kapan saja kalau butuh bantuan," ucap Ibu.

Aku kembali menggigit bibir untuk menahan tangis.

Setelah memastikan keadaan Ayah baik-baik saja, aku menyudahi panggilan telepon. Aku mengabaikan semua kekhawatiran saat mengirim uang untuk Ibu.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now