64. Saatnya Memilih

5.3K 719 16
                                    

Tanganku sudah terulur untuk membuka pintu ruang kerja Nadiem, tapi aku mengurungkan niat saat mendengar suaranya. Sepertinya dia tengah berbicara di telepon. Aku tidak bermaksud menguping, tapi seolah ada yang menahan kakiku sehingga terpaku di balik pintu.

"Pasti ada kesalahan. Ini tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya." Nada suara Nadiem terdengar panik. Hal itu turut membuatku panik.

Dari celah pintu yang terbuka, aku melihat Nadiem yang berjalan mondar mandir. Kerutan di keningnya begitu dalam.

"Oke, kapan saya bisa bertemu beliau? Saya akan menjelaskan semuanya." Kali ini, dia terdengar sangat terdesak.

Kalau saja ada yang bisa kulakukan untuk membantunya, tapi aku tidak punya kekuatan apa-apa. Aku bahkan tidak punya kenalan investor atau seseorang yang bisa kudekati untuk meringankan beban Nadiem. rasanya begitu tidak berdaya. Nadiem selalu ada untukku, siap sedia membantuku. Namun, aku malah berlaku sebaliknya.

"Tomorrow? Good, fine by me. Just let me know where we should meet."

Akhir pekan tidak lagi menjadi waktu istirahat. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali Nadiem bisa menikmati akhir pekan dengan tenang. Selalu ada meeting atau pertemuan yang harus dihadirinya. Statusku yang juga menjadi karyawannya membuatku tidak bisa menemaninya.

"Okay. Thank you." Nadiem menutup telepon.

Perlahan, aku membuka pintu. Nadiem menyadari kehadiranku dan berbalik.

"Hai, kamu lagi enggak sibuk, kan?"

Aku refleks tertawa. Apanya yang sibuk? Meski aku berencana untuk melanjutkan menulis novel, tapi itu bukan kesibukan yang sebanding dengan Nadiem.

"Enggak, kenapa?" Aku balik bertanya.

"Aku diundang ke acara salah satu rekananku. Well, aku sedang mendekati dia. Siapa tahu dia bisa memberikan suntikan dana. Aku mau kamu menemaniku." Nadiem menatapku lekat-lekat.

"Aku?"

"Ini hanya pesta biasa, bukan pertemuan bisnis. Aku enggak mau pergi sendiri. Please?" Nadiem memberikan tatapan penuh permohonan yang tidak mungkin kutolak.

"Pukul berapa kita berangkat?"

"Tujuh."

Itu artinya dua jam lagi.

"Aku siap-siap dulu." Aku baru saja berbalik tetapi langkahku terhenti ketika Nadiem menahan lenganku dan menarikku ke dalam pelukannya.

"Makasih, ya. Aku tahu ini dadakan, tapi aku juga enggak mungkin menolak undangan ini."

Di pelukan Nadiem, aku mengangguk. Aku mungkin tidak bisa memberikan bantuan berarti, tapi setidaknya aku bisa berada di sisinya. Mendukungnya dalam diam.

***

Ketika aku masih tinggal di paviliun belakang rumah Nadiem, aku sering mengintip dari jendela setiap kali kedua orang tuanya mengadakan pesta. Ibu menyuruhku untuk diam di rumah, dan aku cukup tahu diri untuk tidak berkeliaran di rumah. Nyonya bisa mengulitiku hidup-hidup jika mendapatiku berada di pesta itu.

Sejak dulu, aku selalu bertanya-tanya? Apa tujuan pesta ini? Siapa saja orang yang datang? Pastinya mereka orang penting, melihat dari pakaian dan mobil yang mereka kendarai.

Malam ini, aku kembali menyaksikan pesta tersebut. Bukan di rumah Nadiem. Namun pesta ini tak ubahnya seperti yang dulu hanya bisa kunikmati dari balik jendela. Sekarang aku berada di dalamnya, terasing di tengah pesta.

Nadiem begitu luwes, menyapa setiap tamu satu per satu. Aku takjub karena dia mengenali semua orang yang ditemuinya. Nadiem mengingat semua namanya, bahkan selalu bertanya soal detail kehidupan mereka.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu