66. Kebohongan Kejutan

5.5K 763 41
                                    


Aku menatap layar laptop. Aku sudah lupa, berapa lama waktu yang kuhabiskan di depan layar tebuka, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari otakku. Rasanya seperti seorang munafik. Aku memberikan harapan kepada pembacaku lewat cerita. Nyatanya, semuanya hanya khayalan belaka.

Saat ini aku tengah menjejak realita. Dan kenyataan, punya taring tajam yang menusukku hingga tak ada harapan tersisa.

Aku menutup laptop, tidak lagi ingin melambungkan angan pembaca. Lagipula, aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Ragaku ada di Kudus. Namun jiwaku tertinggal di Jakarta. Bersama Nadiem.

"Din, ayo makan dulu."

Aku beranjak menuju dapur dan membantu Ibu menata makanan. Kesehatan Ibu belum sepenuhnya pulih. Untunglah itu hanya flu biasa. Ibu bersikeras untuk tidak mau diperiksa tapi aku bisa sangat keras kepala. Aku tidak mau dikelabui penyakit. Untunglah hasil pemeriksaan terlihat positif.

Meski itu artinya, aku tidak punya alasan lagi untuk berada di rumah.

Namun, aku masih di sini. Dengan dalih menemani Ibu. Aku yakin Ibu tahu bahwa alasan itu begitu msngada-ada, tapi Ibu tidak mengungkitnya.

"Nadiem gimana kabarnya?" Ini kali pertana Ibu bertanya soal Nadiem setelah tiga hari aku tinggal di rumah.

Dari cara Ibu menatapku, ada banyak hal yang ingin disampaikannya. Selama tiga hari ini, aku dan Ibu berada di tepian masalah yang sama. Menunggu satu sama lain untuk mengambil langkah lebih lanjut.

"Sehat. Sejam yang lalu, Nadiem meneleponku." Nadiem memastikan untuk selalu menghubungi. Dengan mendengar suaranya, kerinduanku semakin menggebu.

Seharusnya aku segera pulang ke Jakarta. Bukan hanya untuk menuntaskan rindu, tapi juga mendukung Nadiem melawan mereka yang mengusiknya. Seperti seorang pengecut, aku malah mengurung diri di sini.

"Kamu mau jawab jujur pertanyaan Ibu?"

Aku tersentak. Seketika aku lupa akan makanan di hadapanku.

Ibu menatapku tajam. "Apa kamu membuat perjanjian dengan Nadiem terkait pernikahan kalian?"

"Maksud Ibu apa?"

"Ibu kenal kamu, Dinda. Kadang kamu bisa nekat. Ayah ingin melihatmu menikah dan tiba-tiba saja Nadiem menikahimu. Itu sebab Ibu bertanya, apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan?" Beber Ibu.

Aku menggeleng. "Sebelumnya aku sudah pacaran dengan Nadiem."

Ibu meminta kejujuran. Hatiku seperti tercabik saat ada kebohongan yang kusimpan. Akhirnya kuputuskan untuk jujur.

"Sewaktu aku kena layoff, aku enggak bisa bayar kos. Nadiem menawarkan untuk tinggal di tempatnya sementara waktu. Aku enggak punya pilihan lain." Aku menunduk, tidak sanggup menatap Ibu. "Sejak itu, aku dekat dengan Nadiem. Dia mengajakku pacaran. Aku mencintainya, Bu. Jadi ketika Nadiem mengajakku menikah, aku langsung menerimanya. Aku tidak memikirkan konsekwensinya."

"Konsekwensi apa?"

Aku merasakan beban di hatiku begitu berat. "Orang tuanya."

Selama bsberapa saat, Ibu terdiam. Namun ketika Ibu buka suara, penuturannya membuatku terperangah.

"Nyonya Sophia menuduh ada yang kalian sembunyikan. Beliau bersikeras pernikahan itu tidak sah karena Nadiem terpaksa melakukannya. Menurutnya, kamu mengancam akan membocorkan soal Renata kalau Nadiem tidak mau menikahimu. Kamu juga mengincar harta Nadiem," jelas Ibu.

Tuduhan itu tidak masuk akal, tapi aku tidak heran ketika tuduhan itu keluar dari mulut Nyonya.

"Ibu enggak percaya kan?" Tanyaku.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now