46. Janji Setia

9.9K 1K 62
                                    

Aku tersentak saat pintu kamar Ayah terbuka. Dengan refleks, aku menghela napas lega saat melihat Nadiem muncul. Perasaan bersalah tertera jelas di wajahnya.

Nadiem menghampiriku. "Sayang, sorry aku telat. Aku baru sampai Subuh tadi dan ketiduran," jelasnya.

Aku tersenyum lega. Apa pun alasannya, sekarang tidak lagi terasa penting, karena kini dia ada di hadapanku. "Enggak apa, Mas." Karena yang paling penting, kehadirannya.

Matanya menatapku lekat-lekat. Kilat di matanya membuatku bergidik. Aku menunggu tanggapannya dalam diam, meski jantungku terdengar riuh.

"Fuck, you're hot," bisiknya. "Sorry, aku seharusnya enggak ngomong begini, tapi... kamu jauh lebih cantik dibanding mimpiku. Percayalah, selama seminggu ini, aku terus memimpikanmu. Terlebih pernikahan kita."

Aku cukup kesulitan menahan senyum. Nadiem tidak sendiri, karena aku pun tidak bisa mengalihkan perhatian darinya. Pagi ini dia begitu tampan dalam balutan jas yang senada dengan kebayaku. Bukan kali ini saja aku melihat Nadiem memakai jas, tapi pagi ini dia terlihat berbeda. Raut lelah di wajahnya tidak menjadi masalah. Dia tetap pria paling tampan yang pernah hadir di hidupku.

Saat melihat kilat di matanya, aku merasakan gejolak yang sama di dalam hatiku. Gejolak yang memaksa untuk menguasai tubuhku.

Suara dehaman membuatku memutus tatapan dengan Nadiem.

"It's time. Penghulunya sibuk, enggak bisa menunggu lebih lama lagi," tegur Nina sambil menahan tawa.

Nadiem mengedipkan sebelah mata kepadaku sebelum menemui Ayah dan Ibu. Entah apa yang disampaikannya, karena suaranya cukup rendah, hanya bisa didengar oleh orang tuaku saja. Aku melihat Ibu menyusut air mata sementara Ayah menjabat tangan Nadiem dan menepuk lengannya sambil bicara dengan wajah serius. Di hadapannya, Nadiem mendengarkan dengan saksama.

"Saya janji, Yah."

Aku ingin tahu, janji apa yang dimaksudnya. Namun, tidak ada waktu untuk mencari tahu.

Akad nikah harus dilangsungkan.

Aku tidak bisa mengalihkan tatapan dari Nadiem dan Ayah. Mereka duduk berhadapan. Nadiem menjabat tangan Ayah dengan erat. Nadiem tampak tegang. Baru kali ini aku melihatnya setegang itu. Aku bahkan bisa melihat bulir keringat di pelipisnya.

Dengan susah payah melawan batuk, Ayah mengulangi perkataan penghulu. Ayah berjuang keras melawan kondisi tubuhnya yang tidak begitu kuat pada saat menyerahkanku, putri satu-satunya, ke tangan Nadiem.

Suasana begitu hening saat Nadiem menyahut. Dia terdengar tegas saat mengucapkan janji. Tak ada keraguan di balik suaranya. Matanya menatap Ayah dengan tajam, memberitahu Ayah bahwa dia siap menjadi suamiku.

Tanpa sadar, aku menahan napas. Tidak tahu berapa lama, karena aku baru menghela napas lega saat penghulu menyatakan aku dan Nadiem sah sebagai suami istri.

Kali ini, aku tidak bisa membendung air nata yang menggenang.

"Tugas Ayah sudah selesai, Nak," bisik Ayah ketika aku berlutut di hadapannya.

Aku menggeleng. Kali ini, tidak lagi peduli pada makeup dan membiarkan air mata membasahi pipiku.

"Enggak, Yah. Ayah bakalan sembuh. Ayah bakalan punya waktu panjang untuk main-main dengan cucu Ayah kelak," balasku.

Tidak ada balasan dari Ayah, hanya senyum lemah yang membuatku kian meneteskan air mata.

Nadiem memelukku, berusaha mengalirkan ketenangan kepadaku.

"Now, you stuck with me. Aku sudah janji pada Ayah untuk menjagamu dan aku enggak pernah ingkar janji," bisik Nadiem.

Nadiem mengambil kotak merah yang disodorkan Nina. Saat dibuka, aku melihat ada dua buah cincin di sana.Napasku tercekat saat melihat cincin itu. Potongannya sederhana, tapi sangat manis. Ada banyak butiran berlian di sekelilingnya.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now