41. Bad News

8.6K 903 38
                                    

"Sudah selesai?" Tanya Nadiem saat aku menghampirinya di ruang tamu.

Aku mengangguk. "Sudah cukup buat hari ini. Aku ambil minum dilu."

Nadiem tidak perlu tahu kalau aku hanya pura-pura ingin menulis. Dengan begitu, aku bisa mengunci diri dan jauh dari Nadiem. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah apa yang terjadi di dapur.

Beruntung Nadiem memberiku waktu. Dia tidak bertanya lebih ketika aku mengaku butuh waktu menulis. Dia beralasan ada pekerjaan sehingga juga mengurung diri di kamarnya.

Saat mengambil minum di kulkas, mataku dengan sendirinya melirik ke arah kabinet dapur. Pipiku langsung memerah. Bayanganku memainkan ulang kejadian beberapa jam yang lalu. Hanya bayangan saja membuatku panas. Juga menumbuhkan keinginan untuk merasakan lebih.

Aku menggeleng kencang, berharap bisa mengusir bayangan tersebut.

"Kamu enggak mau lanjut menulis lagi, kan?" Tanya Nadiem. Dia menepuk sofa di sebelahnya. "Sudah lama kita enggak nonton bareng."

Kalau boleh mengikuti akal sehat, aku ingin segera berlari ke kamar dan mengunci diri lagi. Namun hatiku ingin menghampiri Nadiem. Dengan sendirinya, aku melangkah mendekati Nadiem.

Nadiem menarikku hingga terjerembab di pangkuannya. Dia melingkarkan kedua lengannya di pinggangku, membuatku berada di pelukannya.

"Hmmm..." dengung Nadiem sembari menyurukkan wajahnya di lekukan leherku.

"Katanya mau nonton?" Tanyaku dengan susah payah.

Embusan napas Nadiem di leherku membuatku bergidik. Aku sengaja menelengkan kepala, membuat leherku terpapar jelas di hadapan Nadiem. Tindakanku sama saja dengan memberikan akses penuh kepadanya untuk terus mencumbuku. Kecupan demi kecupan yang ditinggalkannya hanya membuatku semakin lupa diri.

"Kamu membuatku gila, Dinda," bisik Nadiem.

Meski pengalaman percintaanku minim, tapi aku bisa memahami perasaanku selama ini. Belum pernah aku mencintai seseorang sedalam ini. Jiwa dan ragaku menginginkan Nadiem. Dia tidak hanya merangsang tubuhku, tapi juga membelai hatiku hingga terlena oleh kebadirannya.

Aku merangkul pinggangnya, membuat tak ada celah di antara diriku dan Nadiem.

Aku mengagumi keputusan Nadiem. Tak ayal hal itu membuatku besar kepala. Namun ada bagian hatiku yang membuatku ingin Nadiem mengingkari janjinya.

Dan bercinta denganku.

"I need you so bad," bisiknya. Meski tidak ada ucapan nyata, baik aku atau Nadiem sama-sama menyadari bahwa kami sudah melewati batas.

Terlambat untuk mundur, tapi Nadiem masih menaham diri.

"Kamu bisa memilikiku," balasku.

Suara tawa Nadiem teredam ketika dia menenggelamkan wajahnya di rambutku.

"Yeah, but I can't. I already promise you."

Sebaris senyum terkembang di wajahku. "Your principels is a cockblocker."

Tawa Nadiem kian lepas, diiringi erangan tertahan. "Kamu baru saja membunuhku perlahan. Aku memang tergoda, tapi aku sangat mencintaimu jadi godaan sebesar apa pun tidak akan bisa mengubah keputusanku."

Rasa hangat mengaliri hatiku ketika mendengar ucapannya.

"Buat sementara, begini sudah cukup."

Nadiem kembali menyusuri leherku. Tubuhku bergidik saat merasakan lidahnya menjalari setiap jengkal leherku.

"Tidak lama lagi, aku akan menjilati seluruh tubuhmmu," janjinya. Napasnya terasa berat saat menyentuh leherku.

Bersama Nadiem membuatku kehilangan orientasi waktu. Aku tersentak dari dunia maya ketika mendengar dering telepon.

Aku refleks berdiri. "Aku harus angkat telepon. Itu Ibu." Aku mengenali nada dering khusus tersebut.

Tanpa menunggu balasan Nadiem, aku berlari menuju kamar. Baru semalam aku menelepon Ibu, dan seperti biasa, Ibu meyakinkanku semua baik-baik saja. Ibu juga beralasan Ayah ada di warung. Belakangan, aku makin kesulitan menghubungi Ayah. Beliau tidak punya handphone pribadi dan menolak ketika aku ingin membelikannya, sehingga mau tidak mau aku harus menghubunginya lewat Ibu.

Bagaimana kalau terjadi sesuatu sama Ayah?

Nadiem berjanji akan membawaku pulang minggu depan. Semalam, aku sudah memberitahu Ibu. Seharusnya aku curiga, kenapa Ibu tidak tampak senang saat tahu aku akan pulang? Malah sebaliknya, Ibu begitu kikuk.

Seharusnya aku mendengarkan kecurigaan yang selama ini kuanggap tidak beralasan, dan langsung pulang ke rumah tanpa membuang waktu.

"Ya, Bu."

"Dinda, kamu bisa pulang, Nak?" Tanya Ibu.

Dari sudut mata, aku melihat Nadiem memasuki kamar. Raut wajahnya sama khawatirnya denganku.

"Minggu depan aku pulang."

"Maksud Ibu sekarang," jawab Ibu.

Jantungku langsung berdetak kencang. "Ada apa, Bu?"

"Ayahmu..." Ibu tercekat. Aku yakin Ibu tengah menangis. "Maaf selama ini Ibu menyembunyikannya. Tapi, ayahmu sakit parah. Kalau bisa, kamu pulang ya. Sebelum terlambat."

Hampir saja aku terhenyak ke lantai, kalau Nadiem tidak menahan tubuhku. Lidahku mendadak kelu saat mendengar permintaan Ibu.

"Aku pulang sekarang." Aku menjawab dengan susah payah.

Aku tidak lagi mendengar penjelasan Ibu karena satu-satunya yang kupikirkan hanyalah cara untuk pulang. Di saat seperti ini, aku malah tidak bisa berpikir.

"Ada apa, Din?" Tanya Nadiem.

Air mataku bercucuran, membuatku sulit menjawab pertanyaan Nadiem.

"Ayah... sakit... pulang..."

Nadiem mendekap pundakku. "Kita pulang ke Kudus sekarang."

Setelah berusaha mengusir panik, akhirnya aku bisa berpikir. Kudus lumayan jauh. Aku bisa naik kereta, tapi harus ke Semarang terlebih dahulu. Begitu juga kalau naik pesawat. Aku tidak yakin sanggup menunggu jadwal kereta dan pesawat.

Mungkin ada bis yang bisa berangkat saat ini juga.

"Kamu ganti baju. Cukup bawa barang penting. Aku yang menyetir ke sana," tegas Nadiem.

"Tapi, Mas..."

"Kali ini, jangan menolak ya. Kita ke Kudus bareng-bareng. Kamu siap-siap sekarang, kita berangkat sebentar lagi." Nadiem mendaratkan ciuman ringan di keningku sebelum meninggalkanku.

Seolah ada yang menyentakku. Aku segera berganti pakaian dan membawa barang penting. Cukup satu tas saja. Saat aku keluar kamar, Nadiem sudah menunggu di pintu dengan ransel di pundaknya.

Dia menggenggam tanganku, sedikit pun tidak melepaskannya sampai berada di mobil.

"Kita akan menempuh perjalanan panjang. Aku tahu kamu panik, aku akan mencoba menyetir semaksimal yang aku bisa tanpa membahayakan nyawa kita, oke?" Ucap Nadiem.

Aku mengangguk. "Makasih, Mas. Aku jadi ngerepotin."

Nadiem menyalakan mobil. "Kalaupun kamu bukan pacarku, aku akan tetap menemanimu ke Kudus. Ayahmu sudah seperti orangtuaku sendiri, aku tidak akan diam saja kalau terjadi sesuatu padanya."

Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri.

"Ayah akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja." Nadiem meremas tanganku sebelum menjalankan mobil keluar dari area parkir.

Dalam hati, aku mengamini ucapan Nadiem. Berharap aku tidak terlambat datang.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now