62. Jalan Keluar

6.8K 787 33
                                    

Bisik-bisik yang beredar semakin tidak terkontrol. Aku berusaha untuk tidak terpengaruh, tapi ucapan yang menyudutkan Nadiem membuatku tidak bisa mengendalikan emosi.

Utas yang dibuat Arlan viral. Banyak yang mendukungnya. Hal tersebut dibumbui dengan cerita-cerita lain yang kebenarannya patut untuk dipertanyakan. Nadiem belum satu tahun bekerja di sini, tapi cerita yang beredar begitu menyudutkannya.

Ada yang berbagi komentar bahwa ini bukan kali pertama Nadiem bersikap sewenang-wenang seperti itu. Aku nyaris tertawa. Tuduhan konyol. Bagaimana Nadiem bisa memecat seseorang sementara dia berada di belahan dunia lain?

Itu hanya satu dari sekian banyak tuduhan konyol yang tidak masuk akal. Seakan semua orang berbondong-bondong menudingkan jarinya di depan Nadiem. Dia memang tegas, tidak sedikit yang salah paham dengan ketegasan itu dan menganggap Nadiem bertangan besi.

Ketika sebuah tuduhan muncul ke hadapan publik, tidak semua orang mau repot mencari kebenaran. Pihak yang menampakkan diri sebagai pihak terluka selalu dibela. Bukan sekali dua kali publik salah berpihak, malah membela pihak yang sebenarnya salah.

Nadiem memberitahu bahwa pengacara sudah mengurus masalah ini. Apa yang bisa dilakukan pengacara selama Arlan berhasil mempengaruhi semua orang?

"Awas, jangan dekat-dekat istri bos. Nanti dipecat."

Seketika antrean makan siang di depanku mengambil jarak dariku. Aku menoleh ke sumber suara. Di salah satu meja, ada perempuan yang selama ini sering bareng Arlan. Ada enam orang di meja itu, mereka satu kelompok pertemanan dengan Arlan. Entah apa saja yang sudah diberitahu Arlan kepadanya. Aku yakin, Arlan tidak pernah menceritakan yang sebenarnya.

Mereka tertawa ketika melihatku. Perempuan tadi, yang kukenali sebagai Dena, menatapku sinis.

"Ada untungnya juga Arlan nolak dia. Tahunya udah jadi istri orang. Eh wait, udah jadi istri Bos kok masih kecentilan depan Arlan, ya?" timpal Riska, teman Dena, yang juga teman Arlan.

Tanpa sadar, aku menekan piring keras-keras. Kalau saja Tami tidak mengingatkanku, piring di tanganku sudah pecah.

"Enggak yakin juga beneran dipersitri Pak Nadiem. Come on, masa Pak Nadiem seleranya... aw... sakit Bimo." Mutia melayangkan pandangannya pada Bimo, satu-satunya laki-laki di meja itu.

"Mulut lo, Mut." Bimo terkekeh. Namun dari kilat di matanya, aku tahu dia menikmati sindiran Mutia.

"Gue baru sadar sekarang, pantesan anak baru bisa WFH sebulan lebih. Alasannya jagain orang tua yang sakit. Ternyata biar dikasih keringanan gitu mesti deketin bos ya?" Dena tertawa mengejek. Rasanya ingin menyumpal mulutnya dengan sambal agar berhenti menebar kebohongan.

"Tahu segampang itu, dari dulu deh gue deketin Pak Nadiem. Tetek gue juga enggak kalah gede, nih." Mutia sengaja membusungkan dadanya, disambut tawa menjijikkan teman-temannya.

"Udah... udah... masa iya ngomongin orang." Zia, dari tim HRD yang seharusnya memastikan semua karyawan nyaman berada di kantor ini, malah ikut menimpali.

Aku berdiri di tempat. Kali ini, aku sengaja menatap mereka. Aku tidak bersembunyi, apalagi menatap diam-diam. Jika mereka pikir ucapan mereka bisa membuatku ciut, mereka salah besar.

Mereka tidak ada apa-apanya. Ada orang tua Nadiem yang lebih menyeramkan, sehingga sindiran mereka tak lebih dari sekadar gertak sambal.

Jika mereka menghinaku, aku tidak masalah. Aku sudah kenyang memakan semua hinaan sejak kecil. Namun, aku tidak bisa tinggal diam jika ada yang menyinggung orang yang kusayang.

Dalam hal ini, Nadiem.

Aku menatap mereka satu per satu. Dari sekian banyak cerita ngaco yang menimpali tuduhan Arlan, apakah mereka terlibat? Semua akun yang berkomentar merupakan akun baru, bisa saja salah satu dari mereka membuat akun baru agar bisa memperkeruh suasana.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now