6. Secercah Harapan

8.7K 841 51
                                    

Setelah berbulan-bulan hidup dalam kegelapan, akhirnya harapan itu datang dalam bentuk undangan wawancara kerja. BeautyLab, sebuah e-commerce yang bergerak di bidang kecantikam akhirnya memberiku kesempatan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tabunganku yang sudah menipis membuatku mengerahkan semua upaya agar menarik hati pihak BeautyLab.

Aku suka makeup. Bermain dengan alat makeup menjadi semacam terapi yang menyenangkan. Selama menganggur, aku sering mencoba makeup baru meski aku tidak ke mana-mana, hanya diam di kos. Namun hasil makeup membuatku merasa lebih cantik dan mendongkrak percaya diri. Setiap kali stres melanda karena masa depan yang masih suram, aku langsung menyibukkan diri dengan alat makeup.

BeautyLab merupakan sister company OnStyle. Arlan sudah bekerja di sana, tidak lama setelah keluar darj kantor. Aku sengaja tidak mencari tahu kabar teman-temanku, karena setiap kabar posirtf yang dialami temanku, membuatku semakin tenggelam dalam kegelapan. Sulit untuk bisa ikut berbahagia atas pencapaian orang lain, sementara aku sendiri gamang akan masa depan.

Hanya Arlan satu-satunya yang masih intens berhubungan denganku.

Aku tidak tahu bagaimana mendefinisikan hubunganku dengan Arlan. Kedekatan itu bermula karena bekerja di kantor yang sama. Setelah terpisah, hubungan ini sedikit merenggang. Aku mengerti jika Arlan sibuk dengan pekerjaan barunya.

Sudah lama aku ingin menanyakan kepada Arlan, apa sebenarnya arti hubungan ini? Arlan tidak pernah berkata dia menyukaiku, tapi setiap perhatiannya menunjukkan bahwa hubungan ini lebih dari sekadar teman.

"Dinda." Arlan menghempaskan tubuh di kursi seberangku. Aku mengajaknya bertemu di Starbucks yang ada di lobi gedung ini setelah selesai wawancara. "Kamu cantik banget hari ini."

Aku refleks tersenyum. Penuturan Arlan merupakan validasi yang kubutuhkan.

"Habis interview di BeautyLab," sahutku.

"Gitu dong. Kalau cantik begini kan enak dilihat." Arlan tersenyum sementara aku mengusir rasa tidak nyaman atas pujian Arlan.

"Aku enggak ganggu, kan?" Tanyaku.

Arlan melambai ke arah belakangku. Aku menoleh dan mendapati dua orang perempuan tengah mengantre kopi dan membalas lambaian Arlan. Seolah ada yang menumbuk hatiku saat melihat mereka.

Bukan sekarang saja, sejak dulu Arlan selalu dikelilingi perempuan cantik. Sekarang pun tak terkecuali. Perempuan cantik yang membuatku selalu terdorong ke lembah tak percaya diri.

Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa secantik perempuan di sekitar Arlan. Mau berusaha sekeras apa pun, aku tidak akan bisa sekurus mereka. Aku tidak akan bisa mendapatkan kulit dan rambut hasil perawatan klinik kecantikan karena uangku hanya cukup untuk skincare lokal yang harus dipakai dengan cermat.

Aku menggeleng, berhenti mengasihani diri sendiri.

"Enggak juga, emang tadinya mau beli kopi. Udah jam jajan." Arlan menjawab. Dia kembali menatapku. "Gimana BeautyLab?"

Aku mengangkat pundak. "Hawanya sih positif. Semoga aja nyangkut."

"Selama ini kamu ngapain aja?"

Sebagai seorang pengangguran, topik ini terasa begitu mengganggu.

"Freelance buat bikin copy media sosial gitu, sama nulis-nulis iseng aja. Lumayan buat nambah uang bulanan," sahutku.

"Kamu tuh ya, udah tahu keadaan sekarang makin sulit. Yang butuh kerja banyak, sementara yang hiring sedikit. Harusnya kamu lebih ngoyo," tukasnya.

Arlan tidak tahu sudah berapa banyak lamaran yang kukirim. Saking putus asanya, aku bahkan rela bekerja apa saja. Aku melamar sebagai personal asistant, bahkan pelayan cafe. Apa pun, selama mendapat pekerjaan yang halal.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now