5. It's Hard to Say Goodbye

9.5K 787 8
                                    

Rumah ini bukan milikku, tapi ikatan yang kurasakan dengan paviliun kecil ini begitu besar. Aku lahir dan besar di sini. Satu-satunya tempat tinggal yang kutaju hanya rumah ini.

Sekarang, aku harus mengucapkan selamat tinggal. Ada segumpal kesedihan di dalam hatiku saat menyadari hari ini akhirnya datang, hari di saat aku harus melepas semua kehidupan masa kecil dan dewasaku.

Orang tuaku akhirnya pensiun. Dua bulan sejak mereka mengungkapkan keinginan tersebut kepadaku. Selama dua bulan ini pula aku seperti melayang, hidup di awang-awang. Masa depan yang suram dan serba tak pasti membuatku tidak lagi bisa menikmati hidup.

Mereka masih belum tahu bahwa sejak dua bulan lalu, aku resmi menyandang status pengangguran. Aku tidak sampai hati menambah beban pikiran mereka. Setiap kali datang ke sini, aku selalu memasang topeng dan menampakkan semua baik-baik saja. Cukup diriku yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Aku memandang sekeliling. Di dinding di dekat dapur masih ada sisa tulisan Ibu yang mengukur tinggi badanku dan Nina. Sama seperti Nadiem, Nina juga lebih sering berada di paviliun kecil ini ketimbang di rumahnya yang seperti istana itu.

Langkahku menuju ruangan kecil yang dibangun Ayah sebagai kamarku. Ruangan itu hanya memiliki dinding tripleks sementara, karena saat beranjak remaja, aku butuh privasi sehingga Ayah membuat kamar dadakan tersebut sementara orang tuaku masih menempati kasur lipat di luar. Paviliun itu tidak begitu besar dan semua kegiatan terpusat di satu tempat. Tidur, memasak, makan, semuanya dipusatkan di sana. Hanya kamar ini saru-satunya privasi yang ada.

Sejak aku pindah ke kos, Ibu yang menggunakan kamar ini. Sekqrang tak ada yang tersisa. Hanya ruangan kosong yang mengingatkanku akan beratnya kehidupan yang dijalani orang tuaku.

Sebagai anak, aku dihadapkan pada perasaan bersalah katena tidak bisa membuat mereka hidup tenang dan bahagia sampai di usia tua.

Aku keluar dari kamar dengan hati diiris. Namun aku terkesiap saat menyadari ada orang lain di dalam paviliun itu.

"Adinda?"

Aku menarik napas lega saat menyadari Nadiem yang berada di sini.

"Mas ngagetin aja."

Nadiem tersenyum. "Sorry, kirain enggak ada orang. Enggak tahu kalau kamu lagi di sini."

"Mas mau ngapain?" Aku langsung menyesali pertanyaan tersebut. Ini rumahnya, aku tidak punya hak untuk menanyakan hal tersebut.

Untungnya Nadiem tidak menampakkan ekspresi tersinggung. Dengan santai dia menempati kursi makan yang masih berada di ruangan ini. Kursi yang sering ditempatinya saat makan malam di sini ketimbang makan sendirian di rumahnya.

"Tadinya mau makan, udah kebiasaan mau makan di sini, eh baru sadar kalau orang tuamu udah enggak di sini," sahutnya.

Aku menempati kursi di sebelahnya. "Segitu kehilangannya?"

Senyum sendu menghiasi wajahnya. "Orang tuamu punya peran sangat besar saat aku tumbuh ketimbang orang tuaku sendiri. Kamu tahu kan alasanku suka makan di sini?"

"Kalau di sana, Mas makan sendiri." Aku menunjuk ke arah rumahnya.

Nadiem tertawa tipis. "Makan sendiri lebih mending dari pada makan dengan background pertengkaran mereka."

Aku sempat bertanya kepada Ibu, kenapa Tuan dan Nyonya Besar selalu ribut. Seharusnya tidak ada yang mereka ributkan. Mereka punya banyak uang, punya rumah besar, dan menurutku seharusnya mereka tidak punya masalah dalam hidup. Aku tidak mengerti mengapa mereka menikah kalau hanya saling menyakiti?

"Mas masih tinggal di sini?"

Nadiem menggeleng. "Sementara aja sampai apartemen selesai direnovasi. Minggu depan juga sudah pindah. Selama ini masih ada orang tuamu, jadi ada alasan buat tinggal di sini. Sekarang enggak ada lagi yang bisa bikin aku betah di rumah."

Aku punya hubungan yang dekat dengan orang tuaku. Dulu aku tidak mengerti mengapa Nadiem atau Nina tidak memiliki hubungan yang sama dengan orang tua mereka.

"Bapak Ibu sudah settle di kampung?"

Aku mengangguk. "Mereka tinggal di rumah warisan Kakek. Ada warung kelontong milik Kakek, sekarang Ibu yang jaga warung itu. Ayah lebih suka bertani."

Nadiem terkekeh. "Katanya mereka capek kerja makanya mau pensiun. Pulang kampung malah lanjut kerja."

Aku tersenyum sendu. Seharusnya aku melarang mereka bekerja, aku seharusnya mengirim uang bulanan agar mereka tidak perlu bekerja. Namun aku tidak bisa melakukannnya karena untuk memikirkan uang kos bulan depan saja sudah membuat perutku melilit.

"Kamu baik-baik aja?"

Pertanyaan Nadiem membuatku terperanjat. Buru-buru aku mengangguk.

"Aku kenal kamu bukan sehari dua hari Dinda. Aku tahu kalau mukamu ditekuk begitu, artinya kamu lagi enggak baik-baik aja," timpalnya.

Aku mencibir, berusaha bersikap santai. "Sok tahu. Mas Nadiem kan udah lama di New York, ya kali aku masih sama."

Nadiem tersenyum, matanya terus menatapku dengan pancaran hangat yang membuatku kesulitan memasang topeng bahwa aku baik-baik saja. Dengan tatapannya, Nadiem seolah menelanjangiku dan menyuntikkan serum kejujuran kareja sulit untuk menyembunyikan keadaanku yang sebenarnya.

"Kamu tauu siapa yang mengobati luka waktu aku jatuh dari sepeda?"

Aku menatap Nadiem dengan kening berkerut.

"Ayahmu."

Aku menutup mulut dan menunggu kelanjutan ucapannya.

"Waktu aku marah, ibumu yang menenangkan. Waktu aku sedih, ibumu juga yang menghibur. Aku berprestasi, orang tuamu yang bangga dan merayakan dengan memasak makanan favoritku." Nadiem tersenyum lembut. "Mereka selalu ada untukku. Bahkan sewaktu aku di New York pun, aku selalu datang ke hadapan mereka jika butuh apa pun."

Ada perasaan haru yang menyelimuti hatiku saat mendengar penuturan Nadiem. Di matanya, orang tuaku terlihat seperti pahlawan.

Nadiem meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku terkesiap saat mendapati sentuhan fisik yang tidak diduga ini. Jantungku berdentum hebat saat merasakan kehangatan tangan Nadiem yang menggenggamku.

Aku seperti terlempar ke masa bertahun lalu, waktu merasakan cinta monyet kepada Nadiem. Perasaan itu, tanpa bisa dicegah, kembali hadir di hatiku. Rasanya begitu familiar, membuatku kesulitan mengusirnya.

"Kamu enggak sendirian. Kalau butuh apa pun, kamu bisa menghubungiku." Nadiem menatapku lekat-lekat.

Ditatap seperti itu membuatku jengah, tapi aku tidak bisa mengalihkan wajah dari tatapannya.

"Janji, Dinda?"

Aku menelan ludah.

Selama ini, aku bertahan da atas kakiku sendiri. Tidak ada seorang pun, selain orang tuaku, yang menawarkan diri sebagai tempat bersandar.

Hingga Nadiem datang dan membuatku berjanji.

Rasanya begitu asing. Namun di dalam hati, ingin rasanya untuk mengangguk.

Aku tersentak saat merasakan genggaman Nadiem yang kian erat. Matanya masih memaku.

"Kamu janji, Dinda?"

Di hadapan Nadiem, aku mengangguk dengan sendirinya.



PS: Sudah tayang Bab 45 (Special Day), Bab 46 (Janji Setia), Bab 47 (Selamat Jalan) dan Bab 48 (Limbo) di KaryaKarsa. Nadiem dan Dinda kira-kira bikin janji apa nih?

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Onde histórias criam vida. Descubra agora