10. Tinggal Bersama

14.2K 1K 27
                                    

Hari pertama tinggal di apartemen Nadiem, aku kesiangan. Akumulasi beban pikiran yang membuat lelah, juga kasur Nadiem yang sangat nyaman membuatku enggan bangun.

Nadiem sudah tidak berada di apartemen begitu aku bangun. Belum pernah aku kesiangan seperti ini, tapi aku tidak merasa bersalah sedikit pun. Karena begitu bangun, aku seperti mendapat suntikan energi berlebih.

Aku memanfaatkan sepanjang sisa hari untuk menata ulang hidupku. Untuk kali pertama, setelah sekian lama, aku kembali terinspirasi menulis. Setelah mengirim lamaran pekerjaan, aku menghabiskan waktu di depan laptop dan merangkai kata.

Sudah malam ketika aku dilanda gelisah. Nadiem belum pulang, aku tidak tahu dia pulang pukul berapa. Sejak tadi aku menimbang handphone di tangan, tapi tidak ada keberanian untuk menghubunginya. Aku hanya bisa menunggu dengan gelisah, dengan makan malam yang sudah dingin.

Setidaknya, itu yang bisa kulakukan untuk membayar kebaikan hati Nadiem mengizinkanku tinggal di sini. Memasak makan malam tentu bukan hal yang besar.

Aku terperanjat kaget begitu mendengar sensor pintu terbuka. Aku berdiri canggung di foyer sementara Nadiem melewati pintu itu.

"Hai, kamu masih bangun?" Tanyanya santai.

Sudah lewat pukul sepuluh. Meski mengantuk, aku memaksakan diri untuk menunggu. Sebagai tamu, aku tidak bisa seenaknya tinggal di sini.

"Sudah makan, mas?"

Tatapan Nadiem beranjak ke arah meja makan yang menyatu dengan dapur. Sebaris senyum lebar terkembang di wajahnya.

"Kamu masak apa? Kalau masakanmu seenak masakan Ibu, aku enggak keberatan makan lagi," sahutnya enteng dan meninggalkanku di foyer.

Aku tidak kuasa menahan senyum menanggapi ucapan Nadiem. "Pastinya lebih enak masakan Ibu."

Nadiem melirikku dan tersenyum. "Kalau besok-besok kamu mau masak, aku bakalan pulang cepat."

"Deal," sahutku. Dengan begini, aku memiliki fungsi lain selain menumpang tinggal. "Aku panasin dulu."

"Oke. Aku mau mandi dulu. Gerah."

Nadiem beranjak dari dapur sementara aku terpaku di tempat dengan wajah bersemu merah. Tidak ada yang aneh dengan ucapan Nadiem, hanya otakku saja yang kelewat kreatif dan membayangkan Nadiem berdiri di bawah pancuran shower.

Stop it. Ini pasti karena sepanjang hari aku menulis adegan romantis yang panas sehingga malam ini otakku jadi tidak benar.

Agar tidak berpikir terlalu jauh, aku memanaskan makan malam. Tidak lama, Nadiem kembali bergabung denganku. Napaski tercekat saat menyadari kehadirannya.

Nadiem tampak begitu santai. Dia memakai kaus putih polos yang membentuk bayangan samar akan otot-otot yang tersembunyi di baliknya. Mataku menyusuri lengannya, menangkap bayanyan gelap di kulitnya. Aku tidak tahu kalau Nadiem memiliki tato. Nadiem dan tato merupakan dua hal yang berbeda. Di saat dia tampil ala eksekutif muda dengan power suit, aku melihat sosok yang berkuasa dan dingin. Namun malam ini, dalam balutan kaus dan celana pendek, juga tato yang mengintip, membuat Nadiem terlihat lebih berbahaya.

I don't know that tattoo can make someone looks hotter and sexier.

"Kenapa bengong gitu?" Nadiem tergelak saat menangkap basah aku menelitinya sejak tadi.

"Aku enggak tahu Mas Nadiem punya tato."

Nadiem melipat lengan bajunya hingga bagian atas lengannya terlihat. Aku bisa melihat dengan jelas motif geometri yang menghiasi lengannya. Tato itu berakhir tepat di ujung lengan bajunya. Mataku tidak bisa lepas dari sepasang lengan kekar yang berotot dan dipenuhi tato.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum