42. Berpacu dengan Waktu

10.3K 1K 30
                                    

Setelah menempuh perjalanan yang terasa begitu lama, akhirnya Nadiem menghentikan mobil di parkiran rumah sakit. Perutku melilit saat turun dari mobil Nadiem. Beragam skenario buruk bermain di benakku. Tak peduli seberapa kuat aku berusaha mengusirnya, aku tidak bisa mengempaskan bayangan Ayah yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Mataku meneliti sekeliling. Ibu memberitahu bahwa Ayah sudah bisa dipindah dari ruang ICU. Meski Ibu berkata itu sebuah kemajuan, tak lantas membuatku tenang.

Aku berlari menyusuri koridor yang terasa hening. Bau rumah sakit begitu menyengat, mengingatkanku akan harapan tipis yang terasa begitu jauh. Di saat seharusnya aku mengisi pikiran dengan hal positif, aku malah berlaku sebaliknya.

Langkahku terhenti di depan pintu ruangan Bapak. Sudah sedekat ini, tapi aku malah terpaku. Seolah ada yang menahanku untuk melangkah masuk. Ketakutanku semakin menjadi-jadi, membuatku ingin berbalik dan berlari jauh agar tidak perlu menghadapi realita.

Sentuhan ringan mendarat di punggungku. "It's okay. I'm here for you." Bisikan Nadiem mengalirkan sedikit ketenangan kepadaku.

Jangan jadi pengecut, Dinda.

Setelah satu tarikan napas, aku membuka pintu.

Raut sedih di wajah Ibu menyambutku. Beliau langsung bangkit berdiri dan memelukku. Saat memeluk Ibu, tangisku pecah.

"Kamu sudah datang," isak Ibu.

Ibu berutang banyak penjelasan kepadaku, tapi lidahku kelu karena mataku tertumbuk pada sosok Ayah yang terbaring lemah.

Selama ini, aku selalu melihat Ayah sebagai sosok yang kuat. Si pekerja keras yang tak pernah kenal lelah. Ayah bisa bekerja hingga larut malam, menerjang jalanan yang tak pernah bersahabat, lalu besoknya kembali berangkat di pagi buta. Tak sekalipun Ayah mengeluh atau memperlihatkan betapa letihnya dia. Satu-satunya yang diinginkannya adalah agar aku bisa hidup dengan layak.

Setelah semua pengorbanan itu, aku belum melakukan apa-apa untuk membalasnya.

Hatiku mencelus saat menyadari betapa banyak waktu yang terbuang. Sekarang aku tidak memiliki kemewahan berupa waktu lagi. Ayah berpacu dengan waktu, sementara aku masih berdiri di tempat.

"Kita bicara di luar aja, ya," bisik Ibu.

"Biar aku yang temenin Bapak di sini," ujar Nadiem. Dia tersenyum penuh pengertian kepadaku.

Meaki aku membutuhkannya sebagai tempat bersandar, aku juga membutuhkan waktu untuk berdua dengan Ibu.

Aku mengikuti Ibu keluar dari ruang rawat Ayah. Ibu membawaku ke ruang tunggu, lalu mendudukkan tubuh lelahku di kursi keras yang tidak nyaman.

"Ayah sakit apa?" Aku tercekat.

Ibu menerawang ke koridor kosong di hadapannya. "Awalnya ayahmu hanya mengeluh sakit dada. Batuknya nggak sembuh-sembuh dan makin lama makin parah. Sampai batuk darah."

Aku menahan diri intuk tidak mendesak dan mendengarkan penuturan Ibu.

"Setelah pemeriksaan intens, dokter memvonis ayahmu kanker paru-paru."

Aku menutup mulit dengan tangan. Rasa terkejut membuat air mataku berhenti dengan sendirinya.

"Kanker?"

Satu kata itu terdengar begitu menakutkan. Selama ini aku sering mendengar soal penyakit itu, tapi rasanya begitu jauh. Hingga akhirnya dia datang dan merenggut Ayah.

"Stadium berapa?" Tanyaku.

"Empat."

Aku menggeleng, berharap ini semua hanya mimpi.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Where stories live. Discover now