17. First Day

11K 850 13
                                    

BeautyLab kantor keduaku. Aku memang belum punya banyak pengalaman untuk mengenali beragam jenis kantor dan orang-orang di dalamnya, tapi aku berani menjamin BeautyLab salah satu perusahaan yang menyenangkan untuk bekerja.

Kantorku berada di lantai 20. Satu ruangan lepas dengan penuh warna. BeautyLab berbagi lantai dengan OnStyle. Jika bagian OnStyle didominasi biru muda, BeautyLab didominasi pink.

Ruangan lepas membuat keadaan terasa begitu riuh. Penuh dengan hiruk pikuk. Aku bisa melihat karyawan yang bekerja penuh semangat. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang fashion and beauty, ke mana pun aku memandang, aku melihat manusia-manusia stylish dengan dandanan terkini.

Rasanya seperti berada di dalam majalah fashion ternama.

Risma, dari pihak HR, memperkenalkanku ke seisi ruangan. Selain aku, ada Tami, anak baru di OnStyle. Tami bernasib sama denganku, korban layoff yang mendapat kesempatan kedua di perusahaan ini.

Dari pagi hingga siang, Risma memberi penjelasan terkait perusahaan. Meski sudah mengenal keluarga Malik sejak kecil, tetap saja aku terkagum-kagum akan apa yang mereka miliki. Kekayaan mereka tak terhingga. Setelah mengetahui lebih jauh mengenai perusahaan ini, aku jadi makin kagum pada Nadiem. Bagaimana dia menanggung tanggung jawab sebesar itu?

Harus kuakui bahwa Pak Malik sangat sukses. Namun, aku tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa di luar pekerjaan, dia memiliki banyak kekurangan.

Sembari diperkenalkan pada rekan kerja baruku, pikiranku berkelana. Di mana kantor Nadiem? Gedung ini memuat hampir seluruh anak perusahaan, tersebar dari lantai satu hingga 27. Nadiem benar, akan sulit bertemu dengannya karena aku berada di level terbawah sementara dia menempati puncak tertinggi.

Ada Ardi, CEO Digital Perdana yang menbawahi OnStyle dan BeautyLab. Kata Risma, dia jarang berada di kantor. Jika dia saja sibuk luar biasa, bagaimana dengan Nadiem yang jauh berada di atasnya?

Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik. Aku memang tidak akan bisa merasakan berada di posisi Nadiem, tapi kalaupun ada kesempatan dan keajaiban, aku yakin tidak akan sanggup menanggung tanggung jawab itu.

"Ini ruangan meeting paling gede. Di sini juga ada ruang meeting kecil dan phone booth, jadi enggak mesti kerja di meja." Risma menunjuk pintu tertutup di depannya.

Seseorang keluar dari ruangan tersebut. Aku tersentak saat menyadari dia Arlan.

Arlan menatapku dengan mata membola. Aku tidak memberitahunya soal pekerjaan ini. Sejak menerima kabar itu, nama Arlan tidak pernah terlintas di benakku. Sampai pagi ini, ketika aku bertemu dengannya.

Dia sudah membuka mulut, tapi urung karena ada yang memanggil. Lewat gestur tangan, dia memberi kode akan mengajakku bicara.

Aku tidak mengerti bagaimana perasaanku. Seharusnya aku senang bertemu Arlan lagi. Namun, tidak ada gejolak di dalam hatiku.

"Ini pantri." Ucapan Risma menyentakku. "Makan siang pukul 12, dan untuk tahu menunya apa aja bisa cek di sana."

Makan siang gratis yang disediakan kantor menjadi nilai tambah. Di layar di atas meja pantry, ada deretan menu selama seminggu. Ruangan itu lumayan besar, dengan meja berjejer seperti di cafe. Meski belum jam makan siang, banyak juga yang bekerja di sana karena tempatnya menyenangkan.

"Ada vending machine jadi bebas ambil mau minum apa aja. Di sana juga ada snack bar kalau butuh camilan. Terus kalau mau bikin Indomie, bilang sama Eko aja." Risma menunjuk Eko, OB yang bertanggung jawab di pantry.

"Sekarang saya antar ke meja masing-masing ya."

Risma memperkenalkanku pada Donita, Creative Lead yang menjadi atasanku. Dia masih muda, kutaksir umurnya baru berada di awal 30-an. Donita bertubuh mungil tapi dari yang aku lihat, dia begitu cekatan.

Yes, Sir! (Buku ketiga dari Yes series)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora