•thirtyfive-BERTEMU•

448 30 8
                                    


-'-
selamat membaca ay!🫀
[SILAHKAN VOTE, KOMEN DAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU]
-'-

Abi terbaring lemah di brankar rumah sakit. Ia menghela nafas berat ketika dokter dan satu orang suster pergi meninggalkan nya. Lelaki berseragam putih itu usai menangani Abi, membalut luka-luka Abi dengan sangat hati-hati.

"Mas, sekali lagi saya minta maaf. Sumpah demi apapun saya benar-benar tidak sengaja atas kejadian ini. Ini diluar kendali saya, mas."

"Maafkan saya telah merugikan. Buat mas jadi celaka dan luka parah seperti ini."

Sedari tadi pria ini tak henti bertutur dengan sangat lembut nan tulus. Kata maaf yang tak lepas dari setiap pengucapannya. Abi juga mampu menangkup bahwa bapak ojek online yang menabrak nya ini orang baik dan kejadian ini memang diluar dari kendalnya.

Abi tersenyum. "Iya pak, gapapa. Tapi lain kali lebih hati-hati lagi ya, pak? Bahaya kalau bapak kenapa-napa."

"Iya, mas. Kedepan nya saya akan lebih hati-hati!"

Pria tersebut merogoh jaket kerja nya. Meraih sejumlah uang yang mungkin tahta terakhir penghasilannya hari ini.

"Saya hanya punya segini, mas, sebagai ganti rugi dan permintaan maaf. Dan saya benar-benar minta maaf jika sekiranya tidak mencukupi biaya pengobatan. Tapi saya siap menerima konsekuensi yang mas berikan."

Abi melirik sejumlah uang yang terulur dari tangan keriput itu. Jumlah yang tak seberapa dan terdapat pecahan uang receh, pun lusuh.

"Gak usah, pak. Saya gapapa, bapak gak perlu kasih saya uang. Simpan aja untuk keluarga. Bapak sudah mau bawa saya kerumah sakit sudah jauh lebih cukup."

"Tapi—"

"Sudah pak," potong Abi. "Saya sudah maklumi kejadian ini. Lukanya gak parah. Saya juga mempersilahkan bapak untuk pulang."

Tidak, Abi tidak bermaksud mengusir. Akan tetapi hari sudah mulai gelap. Keluarga bapak ini pasti sudah menunggu di rumah. Disisi lain, Abi juga enggan ditemani dan dirinya tidak kenapa-napa.

"Serius, mas?" Ia terus memastikan. "Tidak apa-apa?"

Abi mengangguk seraya tersenyum simpul.

"Terimakasih dan sekali lagi saya minta maaf, mas." Ia mengikis jarak dengan Abi lalu berjabat tangan. "Saya pamit dulu ya, mas."

Lagi-lagi Abi mengangguk. "Hati-hati ya pak!"

Pria itu mengacungkan jempol seraya tersenyum kikuk. Abi terus menatap punggung pria paruh baya itu hingga tak lagi tertangkup di penglihatan. Helaan nafas kembali terdengar. Abi melirik perban yang merekat dibagian tangan dan kakinya. Jemari kiri itu juga menyentuh luka yang ada di pelipis, kepala, siku, dan tumit. Abi meringis, terasa ngilu, rasa pusing juga masih sedikit terasa.

"Nasib."

Ujarnya dalam keheningan. Tak ada yang menemani Abi diruangan IGD ini kecuali bouquet yang tampak kotor akibat genangan air hujan. Abi menarik nya hingga sampai di depan dada, diimbuhi dengan pelukan dari tangan kirinya.

Beberapa suster dan dokter yang sedari tadi tak henti berlalu lalang berhasil menjadi pusat perhatian Abi. Netra Abi pun menjalar, melirik ke arah tirai pembatas brankar sebelahnya. Abi cukup penasaran dengan pasien di sebelahnya ini, mengapa dokter dan suster terlihat heboh menangani?

Dengan penuh keraguan dan disusul dengan rasa penasaran yang kuat Abi menyibak sempit tirai tersebut. Ia spontan mematung ketika sepasang matanya menangkup seorang gadis yang terbujur lemah, pucat, dengan mata tertutup damai disana.

"Alina?!"

~o0o~

Diantara kedua mahluk ini berakhir saling tatap. Hening. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka berdua setelah Abi izin duduk dan menyapa lelaki yang sedang duduk dihadapan nya ini.

"Jadi kenapa, Bi?" Pradipta menatap dalam wajah lebam Abi, menunggu kejelasan nya.

"Gue mau ngutarakan semua kejanggalan gue selama ini terhadap lo, Bang."

"Silahkan."

Abi membuang nafas nya panjang. "Mungkin kesannya ini berlebihan, alay, drama dan gue mungkin terlalu bawa perasaan. Tapi, bohong kalau gue bilang berada di situasi kayak gini gak sakit."

"Posisi gue seakan berada ditengah-tengah, ada diantara kalian. Ada diantara Alina, statusnya orang yang gue cinta dan bahkan ada diantara lo, bang, sebagai orang yang mungkin nya udah menang dari segi apapun dan mungkin ending yang bahagia akan berpihak pada lo?"

Pradipta semakin serius menatap Abi yang tengah menjelaskan hal yang notabenya ia tak begitu paham intisarinya.

"Bang," Abi menarik punggung nya dari sandaran kursi kantin rumah sakit. "Bohong kalau gue bilang gue rela ngelihat Alina bareng lo. Kenyataan nya gue gak rela dan ini sakit banget. Gue bertindak seakan gue gak peduli dan merespon dengan biasa aja. Tapi, jauh dilubuk hati, tanpa siapapun yang mengetahui itu beneran nyakitin. Sialnya, pura-pura gak sakit itu gak gampang. Gue gatau lagi gimana caranya ngejelasin apa yang gue rasa. Gue cuma bisa bilang kalau gue gak terima dan hati gue keberatan."

Nafas Abi tercekat. "Gue pengen berhenti, Bang. Tapi gue bingung dan bahkan gatau jalan mana yang akan gue ambil sebagai tempat pemberhentian itu."

"Gue gak menyalahkan siapa-siapa. Gue gak menyalahkan lo ataupun menyalahkan Alina yang enggak memilih gue sebagai orang yang bisa selalu ada untuk dia. Dan gue gak memaksa seseorang untuk balas perasaan gue, gue paham akan kalimat boleh aja mencintai seseorang, tapi gak bisa dipungkiri bahwa seseorang itu akan tetap mencintai pilihannya?"

Abi menatap nanar wajah Pradipta.  "Bang, gue ngutarakan ini supaya lo tau kalau gue bukan bocah SMA yang cinta nya sama kayak tebu, kalau udah habis air nya ampas nya bakal dibuang gitu aja. Gue juga bukan bocah SMA yang cinta cuma karena tubuh dan ajang pemuas nafsu. Dan gue juga bukan bocah SMA yang sekedar coba-coba.."

"Utarakan ke Alina, bukan ke gue, Bi." Pradipta memajukan tubuhnya, menumpukan kedua tangannya di atas meja kantin rumah sakit. "Sebab.. cinta yang gak pernah diutarakan gak akan jadi apa-apa. Jangan terlambat untuk mengutarakan apapun, meskipun sekata tapi bisa memupuk rasa penyesalan."

Abi terdiam. Saat mulutnya ingin mengutarakan kejelasan Pradipta malah kembali berbicara.

"Gue paham apa yang lo rasain selama ini tanpa lo ngejelasin dan tanpa lo berhadapan sama gue kayak gini. Bahkan lo menganggap gue saingan, kan?"

Abi tetap tak merespon, sehingga menimbulkan senyuman kecil di sudut bibir Pradipta. "Alina itu suka lo, Abidzhar Saskara. Bukan gue, Pradipta Alterio."

Abi tetap diam, jelas ragu dan menganggap omong kosong penuturan pria ini.

"Gue emang ada perasaan ke Alina. Tapi, gue masih bisa nahan dan buat cinta itu gak makin tumbuh, gue buat cinta itu mati dan berujung hilang ditebang kenyataan. Segala hal manis yang gue lakuin juga demi kesehatan dia, supaya Alina tetap hidup dan masih bahagia di dunia ini. Gue cuma bisa usaha untuk itu, tapi gue gak mau berusaha untuk jadikan dia milik gue seutuhnya"

Pradipta tersenyum kecil. "Gue masih mikirin lo dan ngejaga sebaik-baiknya perasaan lo, Bi."

"Terus berusaha," Pradipta menepuk bahu Abi. "Jangan pernah berfikir diri lo pilihan kedua bagi siapapun, tetap berfikir bahwa lo adalah pilihan pertama dan tokoh yang paling berharga meskipun berada diantara. Buang jauh-jauh fikiran buruk lo terhadap gue yang bakal jadi pemenang ataupun bakal ngerebut Alina dari kehidupan lo. Gue bakal support lo terus!"

'-TO BE CONTINUE-''-

Thankyou for reading!

VOTE DULU DAN RAMEIN KOMEN BIAR CEPET UPDATE!!! FEEDBACKK KALIANN BERPENGARUH BANGETT UNTUK AKUUU HEHEHE....🌷🫰🏻🌷🫰🏻🌷🫰🏻🌷

YUK FOLLOW INSTAGRAM @mataair24_ !! ada spoiler dan info update, cek ricek mana tau komenan kalian tertera di sg!!

DANDELIONWhere stories live. Discover now