•twenty-PERGI•

848 39 5
                                    

'ღ'-selamat membaca ay!🫀[SILAHKAN VOTE, KOMEN DAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''-
selamat membaca ay!🫀
[SILAHKAN VOTE, KOMEN DAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU]

"Masih belum mau pulang, bi?" Tanya Nean setelah keheningan menyusup nuansa malam kelam di antara mereka berdua. Seperti biasanya, mereka sedang bersantai di balkon rumah Nean, melepas sedikit penat serta beban yang telah di pikul, menatap bentang langit malam yang hanya di hiasi rembulan.

"Lo ngusir?" Abi menyahut tanpa menatap Nean yang duduk di kursi rotan samping nya. Sepasang mata itu menatap sayu sinar rembulan, bibirnya meresap manis rokok ini.

"B-bukan gitu bro. Maksud gue lo gak kangen rumah? kangen kamar ternyaman yang isinya koleksi gitar listrik itu? Apa lo.. ga kangen bokap juga? Kasihan gitu? hampir sebulanan lo ga balik dan ketemu beliau."

"Seharusnya gue yang patut untuk di kasihani, Ne." Ucap nya selepas menghembuskan asap rokok, disusul dengan helaan nafas berat.

"Kalau dia peduli seharusnya udah nyuruh gue balik kerumah. Kalau dia emang mau ketemu anak nya ya cari, telfon atau lakuin apa gitu? Tapi sejauh ini ga ada apa-apa kan? ga ada yang terjadi dan gue berasa di telantarkan."

"Bohong kalau gue ga pengen di cari keberadaan nya, Ne. Gue masih butuh perhatian dan kepedulian."

"Kalau kenyataan nya bokap lo kambuh dan lagi dirawat dirumah sakit gimana?" Nean berucap hati-hati. Laki-laki itu bermaksud untuk menjadi penengah. Terlepas bagaimanapun perlakuan Bhadrika kepada sang anak, pria itu tetap lah seorang bapak untuk Abi.

"Jadi guna nya orang bayaran dia apa? Mukulin gue aja bisa, kenapa cari dan berusaha untuk ngehubungi gue ga bisa? Sesusah itu ya ngasih kabar? Gue juga pengen dicariin, gue mau jadi anak yang di khawatirin, bukan diperlakukan layaknya anak buangan kayak gini," Abi menghembuskan nafasnya lelah. "Ya sudah lah ya, sudah pasti tidak dianggap sebagai anak lagi."

Nean diam, ia hanya bisa meneguk saliva kasar. Menyeruput kopi hitam yang sempat ia buat tadi.

"Terlepas dari apapun itu, gue berharap Tuhan selalu jaga dia, selalu beri kesembuhan. Setidaknya cukup peran nya aja yang pergi."

Abi memperbaiki posisi duduknya, menepis abu rokok di asbak. Netranya sayup-sayup menatap wajah Nean. "Kalau gue gak punya siapa-siapa lagi dan gak bisa hidup sesuai kehendak yang gue mau, gue boleh pergi ya, Ne?"

"Susul kakak lo?"

Abi menggeleng, netranya ia alihkan menatap langit. Menyiratkan sebuah maksud disana.

~o0o~

Abi keluar dari lift lantai 8 dengan terburu. Laki-laki berseragam putih abu-abu itu berlari kencang di lorong rumah sakit. Menyalip gusar orang-orang yang tak sengaja menghalangi jalannya. Perasaan Abi berkecamuk, dada nya terasa sesak begitu mendengar kabar.

DANDELIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang