chapter 35

5 1 0
                                    

Sekolah yang biasanya baru ramai menjelang jam tujuh pagi sudah seramai pasar. Orang-orang yang gemar datang mepet bel masuk sampai sekolah sebelum sang surya menyapa penghuni bumi. Bahkan, begitu Nagita menginjakkan kaki di area sekolah, orang pertama yang ia lihat adalah si langganan terlambat. Lelaki yang ia lupa nama ingat rupa itu mengendarai motor keluar sekolah, mungkin ditugaskan mengambil sesuatu. Konsumsi, mungkin?

Pas sekali. Ketika memikirkan konsumsi, Tole turun dari lantai dua. "Langsung naik ke kelas aja, Git! Biar orang lain yang ambil konsum," titah si pimpinan produksi.

"Oke," tanggap Nagita, sesuai apa yang ia kirimkan saat Tole memerintahkan hal serupa semalam. "Tau tempatnya, 'kan?"

"Tau, lah." Tole mendekat. "Kalau orang lain yang ambil, diskonnya tetep berlaku, 'kan?"

"Diskonan melulu yang dipikirin," cibir Nagita. Padahal, salah satu alasan mereka memilih toko adalah karena diskon yang ditawarkan. Itu pun karena sang pemilik toko kenal dengan orang tua Nagita.

"Biar hemat."

"Terserah, deh." Nagita menaiki anak tangga paling bawah. "Gue ke atas, ya!"

"Sana, buruan. Yang lain udah pada didandanin."

Mengingat padatnya kegiatan hari ini, Nagita langsung mendaki tangga terdekat. Cahaya remang-remang menyinarinya. Bersumber dari lantai dua, ia yakin banyak yang telah datang. Lampu-lampu kelas pasti sudah dinyalakan, membantu lampu koridor mengubah wajah sekolah yang menyeramkan dalam kegelapan. Lumayan, kesan tangga depan lapangan futsal yang seperti bagian rumah sakit terbengkalai sedikit mengabur.

"Met pagi, Git."

Nagita refleks menundukkan kepala. "Pagi," sahutnya, enggan bertatapan dengan si pemilik suara.

"Dapet giliran keberapa?" Sebab ia tahu Damian akan membawa kalimat tersebut ke mana. "Oh, kelas lo dapet pagi, ya? Bisa, lah, baliknya bareng gue."

"Gue balik sama Amon."

Kebohongan yang Nagita ujarkan untuk menyelamatkan diri justru membawa sial. Ia yang tiba-tiba mengadahkan kepala langsung diajak kontak mata oleh Damian. Tidak dapat lari, Nagita ketar-ketir. Mesti memakai alasan apa semisal bohongnya tercium oleh lawan bicara?

"Git, lo di bawah, ya?"

Masuknya suara lain melegakan perasaan Nagita. Ia tahu suara itu punya seorang yang dikenalnya, yang hadir untuk menyelamatkannya dari lelaki tak diundang. Ia tahu orang itu ada di sekitarnya. Dan, iya, Sonny ada di koridor lantai dua dengan wajah yang sudah dipoles dandanan.

"Kenapa, Son?"

"Udah ditungguin. Mau didandanin." Tanpa banyak omong, Sonny menghampiri Nagita dan menariknya ke atas. Ia sengaja meminta izin pada Damian, "Gue bawa Nagitanya, ya. Habisnya, kalau lo ajakin ngobrol terus, ngeri ga kelar dandannya. Maklum, tampil pagi, siap-siapnya mesti dari pagi buta."

∙ ∙ ∙

Hari ketika mereka bisa berinteraksi tanpa hambatan, pertemuan yang ditunggu-tunggu justru dipersulit oleh semesta. Nagita sama sekali belum bertemu dengan Amon sejak memasuki area sekolah. Jangankan ketemu, lihat sosoknya pun tidak. Pukul lima maupun delapan, keberadaan Amon tetap menjadi tanda tanya besar. Nagita enggan mencari tahu. Sebab sekalipun mendapat jawaban, ia pasti takkan diizinkan menemui lelaki itu.

Salahkan—tidak, tidak, ia tidak ingin menyalahkan sohibnya. Tanisha melarangnya bertemu dengan Amon demi kebaikan. Katanya, bertemu dengan Amon sebelum pementasan dapat menyebabkan hilangnya fokus selama tampil. Tanisha, sebagai sutradara yang mati-matian berjuang supaya nilai orang sekelas selamat, tak mau ada noda yang merusak pementasan. Nagita paham, maka ia menurut.

iya, kamu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang