chapter 21

8 1 0
                                    

"Gue enggak ngerti kenapa H-1 study tour masih aja kita disuruh belajar."

Pernyataan kontroversial Tanisha mengudara tepat sebelum guru fisika membuka pintu kelas, menyapa para murid yang buru-buru pulang ke kursi masing-masing. Diskusi yang baru dibuka selesai begitu saja. Para partisipan yang geregetan ingin berpendapat terpaksa menyimpan pendapat mereka.

Termasuk Nagita yang diam-diam menyetujui pendapat sang kawan. Selama guru menjelaskan materi, ia memikirkan betapa anehnya keputusan pihak sekolah yang tetap menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar sehari menjelang karyawisata. Meskipun ia paham kalau mereka adalah pelajar yang mesti melakukan kewajiban, penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar sehari sebelum karyawisata kelihatan kurang efektif. Pembelajaran hanya dilaksanakan sampai istirahat pertama, setelah itu murid kelas sebelas dikumpulkan untuk briefing. Hanya dua-tiga jam kegiatan belajar, itu pun belum tentu penuh. Belum tentu juga para murid mau menanam pemahaman terhadap materi yang dijelaskan. Mereka bisa jadi anggap materi itu angin lalu saking antusias dengan briefing dan persiapan karyawisata.

Kalau begitu, kenapa enggak dibebasin aja sehari ini? Goresan pensil Nagita penuhi baris demi baris buku tulis, mengukir catatan yang setengah-setengah ia pahami. Oh, apa supaya anak kelas sebelas ikut briefing dan enggak cabut? Teori ciptaannya nyaris membuat ia salah tulis. Baru satu angka, tapi Nagita mau repot-repot ambil penghapus yang tenggelam dalam ransel untuk mengoreksinya. Pada akhirnya, ia pasrah. Lebih baik memperhatikan penjelasan materi yang dengar-dengar hendak diujikan sehabis karyawisata ketimbang memikirkan keputusan aneh yang sekolah tetapkan.

Dua jam pelajaran yang terasa seperti setahun melelahkan para murid. Beruntung siswa-siswi yang kelelahan itu langsung mendapat ganjaran atas usaha menyerap materi. Satu jam kosong sebelum istirahat pertama membantu mereka berangkat menuju surga yang dituju, baik itu area belakang kelas yang biasa digunakan buat leha-leha atau kantin yang menyajikan beragam makanan.

Sayang, jalan menuju surga tak semudah bolak-balik rumah-sekolah. Penanggung jawab penampilan malam keakraban menghancurkan mimpi teman-teman sendiri dengan menahan setiap orang yang hendak angkat kaki dari kelas. Berulang kali mereka membujuk, "Sebentar aja, kok. Cuma mau ngomongin makrab." Hasilnya, teman-teman yang ingin kabur termakan omong kosong mereka. Omongan yang katanya sebatas soal malam keakraban meluber ke mana-mana, menjamah topik-topik lain yang seharusnya dapat dibincangkan lewat grup atau jaringan pribadi.

Satu jam pelajaran bebas yang mereka gunakan untuk latihan dan mendiskusikan dress code malam keakraban terasa seperti sedetik. Bel istirahat tahu-tahu panggil warga kelas untuk keluar, mengingatkan mereka kalau kantin akan diserbu banyak orang. Latihan penampilan malam keakraban berakhir dengan sendirinya. Tanpa kata penutup, tanpa pesan, dan tanpa pengulangan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan. Mereka yang ingin bepergian mendapatkan kesempatan keluar dari kelas, menyisakan ruangan dengan penghuni yang bisa dihitung dengan jari.

"Indah," panggil Nagita, cegah perempuan yang tengah membuka kotak bekal itu pergi ikuti teman-teman mereka, "mau ngomong, dong, soal yang kemarin."

"Oh, iya." Indah bergeser ke kursi Linda, mempersilakan Nagita untuk menempati kursinya. "Kenapa lagi si Amon?"

Nagita menoleh ke sekeliling, memastikan keamanan kelas sebelum memulai sesi cerita, "Menurut Indah, wajar, ga, kalau cowok yang tadinya bilang cuma temenan tiba-tiba pengin jadiin kita pacar?"

"Amon nembak lo?"

Tepat sasaran. Amon memang pernah meminta Nagita menjadi kekasihnya, tetapi mereka sama-sama menganggap permintaan tersebut sebagai kalimat yang tidak sengaja dilepaskan. Tiada jawaban, tiada kelanjutan, dan sekarang, Nagita pusing menyusun kata untuk menjelaskan kejadian yang telah menimpa dirinya kepada si cenayang.

iya, kamu!Où les histoires vivent. Découvrez maintenant