chapter 8

10 1 0
                                    

"Gimana progress-nya?"

Roti bakar yang nyaris menyentuh bibir Nagita dikembalikan ke atas tutup tempat bekal. Si penyantap mendadak kehilangan nafsu makan. Perutnya berasa diserang rombongan kupu-kupu seusai ia mendengar pertanyaan Resa. Rombongan kupu-kupu tersebut berputar-putar dalam perut Nagita, menciptakan sensasi yang buat ia ingin memuntahkan seluruh isi perutnya.

"Progress apaan?" tanya Nagita sambil menutup mulutnya, menahan keluarnya isi perut sekalipun yang dikeluarkan bukanlah campuran makanan. Aslinya, ia tengah menahan teriakan dan sumpah serapah karena tahu maksud di balik pertanyaan sang kawan.

Nagita menyipitkan mata, menatap Resa yang pamer senyum kemenangan. Puan yang kedatangannya hanya berselang beberapa detik darinya itu terlihat gembira. Raut wajah Resa dapat membuat orang lain menyangkanya habis mendapat lotre saking cerianya. Nyatanya demikian. Resa memergoki kalau Nagita diantar Amon dan ia memperlakukan momen tersebut seperti harta karun. Namanya juga harta karun, pasti dibahas terus. Wajar kalau dua perempuan yang niatnya cuma makan itu malah terjebak dalam pembicaraan yang kurang disenangi oleh salah satunya.

Apanya yang jalan? Merasa kondisi perutnya sudah membaik, Nagita mengunyah sepotong roti. Orang gue sama Amon gini-gini aja, lanjutnya, masih mengarahkan tatapan sebal pada Resa. Dugaannya mengatakan kalau Resa punya sepuluh ribu pendapat mengenai hubungannya dengan Amon dan Nagita bersumpah tak ada yang sesuai kenyataan. Nagita bahkan siap memberikan klarifikasi andaikan Resa berkata, "Cie, tadi berangkatnya sama gebetan."

Karena Resa betul-betul meledeknya, Nagita refleks berseru, "Bukan gebetan, ih!" Seruannya memancing perhatian beberapa orang yang sedang menempati meja konsultasi sehingga Nagita harus meminta maaf. "Resa, sih, bilangnya begitu. Jadi pada nengok, 'kan," ujarnya pelan.

Yang disalahkan cengar-cengir. "Ya udah, ngomongin yang lain aja." Ia masukkan sepotong roti ke mulut. "Buku lo masih di temen gue."

"Temen?"

"Kemarin-kemarin, 'kan, udah dikasih tau kalau temen gue mau minjem buku lo," jelas Resa. "Tenang, bukunya sama dia enggak dirusakin, kok."

"Oke," jawab Nagita. "Emang siapa yang minjem?"

Resa mengecek ponselnya. "Ada, lah. Satu sekolah sama gue. Nih, orangnya udah jalan ke sini."

Nagita celingak-celinguk. Ia harus melihat wujud si peminjam agar percaya bahwa Resa memberikan bukunya pada orang yang tepat. Sebetulnya, ia juga parno usai mendengar kisah bendahara salah satu divisi dalam organisasi sekolah yang mesti merelakan buku catatannya robek di tangan orang. Membayangkan dirinya dalam situasi tersebut, sepertinya Nagita akan galau berhari-hari. Belum lagi pekan ujian tinggal menghitung hari.

"Tuh, orangnya datang."

Telunjuk Resa mengarah pada lelaki yang sedang menuruni anak tangga. Sekilas, tiada yang mencurigakan dari lelaki yang kepalanya tertutup hoodie hitam. Walau penampilannya bak penjahat yang sengaja menyembunyikan wajahnya, orang itu menjaga baik-baik buku catatan Nagita. Bukunya masih terlihat seperti buku dan sebentar lagi akan kembali kepada pemiliknya.

"Sori, Git, bukunya gue pinjem dulu."

Nagita memalingkan wajah begitu si lelaki sampaikan permintaan maaf. Berulang kali ia mengucapkan sumpah serapah, mengutuk diri sendiri yang terlambat sadar kalau Seno bisa menjadi peminjam bukunya. Giliran lelaki itu tiba di hadapannya, Nagita kebingungan mencari cara untuk menyambutnya. Untuk merespons kata-kata maaf dari Seno pun sulit. Padahal, Nagita tinggal mengatakan ya atau santai aja. Jauh lebih mudah daripada mendoakan kepergian Seno dari meja konsultasi.

Senggolan yang jemari Resa berikan pada tangannya bukan hal yang Nagita mau. Apalagi kuku tangan Resa belum dipotong. Rasanya menyakitkan saat kuku-kuku itu mengenai punggung tangannya. Mau protes, Resa keburu melotot.

iya, kamu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang