chapter 30

4 1 0
                                    

Ibarat masalah yang mati satu bertumbuh seribu, Amon masih punya banyak cara meminta maaf. Belajar dari penolakan, ia menghapus cara yang melibatkan gawai dan media sosial. Mengirim pesan, mengode lewat Instagram story atau akun Line resmi angkatan mereka, menelepon, cara-cara tersebut ia coret dari daftar. Sia-sia kalau dipertahankan karena Nagita selalu menganggurkan pesannya.

Cap-cip-cup kembang kuncup, pilihannya jatuh pada cara paling klasik: muncul di hadapan yang bersangkutan. Walaupun cara tersebut gagal total pada percobaan pertama, Amon pantang menyerah. Barangkali perjuangannya mampu membuat Nagita melunak.

Sehari, dua hari, tiga hari, Amon biasa mampir ke kelas Nagita setelah bel pulang berbunyi. Kemunculannya selalu bertujuan bicara dengan perempuan itu. Dengan wajah ramah, ia utarakan maksudnya. Dengan wajah masam, ia tinggalkan ruang kelas. Keesokan harinya, sama. Lusa, sama pula kejadiannya. Adegan permintaan-penolakan itu terus berulang sampai penghuni kelas sebelah muak melihat Amon.

Tanisha hanya satu dari orang-orang yang kesal melihat Amon datang dan pergi. "Apa? Mau ngomong sama Agit?" tebaknya saat Amon muncul di pintu kelasnya. Lengkap dengan tatapan sinis yang ia arahkan seolah-olah Amon manusia paling berengsek yang pernah ditemuinya.

"Boleh, ga?"

"Boleh, ga, Git?"

Tiada respons dari Nagita. Mulutnya terkunci. Tangannya sibuk menulis, mencatat materi atau sekadar mencorat-coret buku tulis. Kepalanya menunduk, beri isyarat kalau ia enggan menoleh kepada si penanya.

"Diem doang berarti boleh," simpul Amon yang tahu bahwa kemungkinan Nagita meladeninya hanya satu dari seratus persen.

"Sembarangan." Tanisha merentangkan tangannya, menahan Amon yang hendak menerobos masuk ruangan. "Diem artinya lo enggak boleh ngomong sama dia."

"Masih kesel, ya?"

Tanisha mendengus. "Gue muak ngelihat lo."

"Orang dia yang gue tanya. Kenapa malah lo yang jawab?"

"Emang gue ga boleh ngewakilin dia?" balas Tanisha. Sapu yang ada di pegangan ia ayunkan. Ia arahkan ujung tangkainya pada Amon, hendak menyodok mundur lelaki yang masih setia menunggui pintu kelas.

"Ya elah, malah mau nyerang." Amon perlahan mundur, mengacir ke arah tangga dekat lapangan basket. "Iya, iya, gue pergi!"

"Ga usah mampir lagi besok!"

"Gi isih mimpir ligi bisik," gumam Amon. Lelaki yang mestinya lari menyelamatkan diri itu sempat-sempatnya melirik ke dalam kelas. Niatnya mengecek Nagita, yang ia lihat justru Tole.

Masalahnya, Tole buka mulut. "Orangnya masih ngelihatin Agit, tuh, Tan!" adunya pada Tanisha yang ribut-ribut mencarinya. Jelas, Tole menyumbang banyak tawa untuk menanggapi kekacauan itu.

Amon mengambil langkah seribu. Udah diusir, diketawain lagi.

∙ ∙ ∙

Penolakan demi penolakan tidak menyurutkan semangatnya. Amon tetap datangi kelas Nagita meski selalu disambut alasan perempuan itu enggan menemuinya. Sampai hari ini, ia sudah mendengar banyak alasan: sibuk mencatat materi, buru-buru karena les, latihan drama kelas, dan terakhir, Kanya mengatakan bahwa sang kawan enggan membahas persoalan karyawisata. Entah alasan apa lagi yang akan menyambut kedatangan Amon.

"Maaf, tapi Gita minta lo buat berhenti nemuin dia lagi." Indah yang tahu maksud kedatangan Amon menjelaskan sebelum lelaki itu menyatakan maunya. "Kira-kira sampai UKK."

"Lama amat."

"Mau fokus latihan drama dulu. Soalnya kelas ini mesti ngejar banyak juga." Indah menarik napas panjang. "Maaf banget, ya, Mon," ujarnya sebelum menutup pintu.

Amon mematung menyaksikan betapa sibuk warga kelas yang hendak laksanakan latihan drama. Mereka benar-benar sibuk sampai lupa membuka pintu bagi orang yang berurusan dengan salah satunya. Indah ingat, tapi perempuan itu sama saja dengan teman-temannya. Sibuk. Dengan kata lain, siapa pun yang membukakan pintu kelas, pada akhirnya Amon kehilangan kesempatan bertemu Nagita.

Ia terduduk seiring dimulainya latihan drama. Ketika Tanisha memberi instruksi, ia merenung, Salah apaan sampai kena usir mulu sama itu orang? Amon mengacak-acak rambutnya. Salah apaan juga gue sampai mau minta maaf aja ditolak melulu sama Agit? Perasaan gue ga pernah bocorin rahasia sekolah, apalagi negara. Kedua matanya memperhatikan dua sejoli yang berduaan di koridor. Apa ini balasannya? Balasan gara-gara gue asal ngeiyain maunya Jauza?

"Gimana? Enak dikacangin?"

Kepalanya terangkat. Oalah, segala datang ini bajingan, umpatnya melihat Damian berdiri di seberangnya. "Ngapain nyamperin?"

"Pengin tau kabar temen gue aja. Siapa tau dia lagi introspeksi diri habis-habisan gara-gara dicuekin mantan gebetannya. Habis itu, dia nyesel dan enggak lagi-lagi deketin si cewek karena tujuan awalnya cuma main-main. Tobat, gitu, Mon. Udah mau kelas dua belas juga. Jangan ngurusin cewek mulu."

Melihat Damian tertawa-tawa, Amon rasanya ingin melayangkan tinjunya kepada lelaki itu. "Lo yang ngerecokin urusan gue," balasnya. "Masih untung lo ngebalikin duit gue. Ga baik ngutang, tapi ga dibayar-bayar."

"Malah balik ceramah. Padahal, udah gue lunasin kemarin-kemarin."

"Utang penjelasan?" Terucapnya kalimat itu memang di luar rencana, tapi Amon menikmati segala kata yang keluar setelahnya. "Lo sekongkolan sama Fanny, 'kan? Makanya bahagia bener waktu gue sama Agit musuhan. Makanya lo bisa ngegas, bisa pamer ke orang-orang waktu Agit jawab telepon lo. Padahal, aslinya juga dia langsung nutup lagi, 'kan? Sama aja kayak Fanny yang modusin gue lagi, padahal sama sekali ga gue tanggapin itu anak."

"Ga boleh negative thinking sama temen sendiri, Mon. Lagian gue sama dia cuma mau ngarahin lo ke jalan kebaikan."

"Mana kebaikan?" Amon berdiri. "Bilangin ke Fanny, gue udah enggak demen dia lagi. Udah habis masanya."

"Hargain dikit, lah, perasaan anak orang."

Setulus apa pun permintaan Damian, yang Amon lihat hanyalah daftar keburukan lelaki itu. Daftar panjang yang dibuat sejak hari pertama mereka bersaing itu telah menyadarkannya bahwa Damian melakukan banyak hal untuk menyingkirkannya. Rencana melengserkannya dari kursi kapten basket, Amon tahu. Usaha mengacau dalam hubungannya dan Nagita, Amon juga tahu. Sengaja meminjam uang pada dirinya, Amon baru tahu tindakan itu berkaitan dengan rencana melengserkannya dari jabatan tertinggi beberapa hari lalu—masih untung yang ia relakan tabungan dan bukan uang bersama. Itu baru tiga dari banyaknya kelakuan ajaib yang bikin geleng-geleng kepala.

Kadang-kadang, Amon berpikir apa hidup mereka akan lebih damai seandainya ia memilih masuk band sekolah? Dengan demikian, mereka takkan bertemu dalam satu ekstrakurikuler. Situasi takkan memaksa mereka untuk bersaing. Ia mungkin hanya menonton persaingan Damian dengan orang lain kalau hidup bisa sedamai yang diharapkan.

Karena harapan dan kenyataan kadang kala bertentangan, Amon balik berpesan, "Kalau lo ngehargain perasaan anak orang, mendingan ke belakang. Nongkrong sama yang lain. Percuma nungguin, Agit lagi latihan drama." Dan mengingatkan, "By the way, kapten basket masih tetep gue sampai regen."

iya, kamu!Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon