chapter 32

4 1 0
                                    

Lima menit menjelang pukul tujuh, Amon masih betah menunggui tongkrongan. Bukan maunya juga bertahan. Teman-temannya, sebut saja Tole dan Jauza, minta Amon berangkat ke sekolah bersama mereka. Amon menyanggupi permintaan itu dengan dugaan mereka cepat bersiap. Tak tahunya, mereka malah mendiskusikan tempat terbaik untuk memasukkan sebuah barang. Entah apa, semoga saja bukan sontekan. Yang jelas, barang tersebut begitu penting bagi mereka sampai-sampai canda tawa berubah menjadi bisik-bisik mencurigakan.

"Lama," komentar Amon, mendistraksi mereka dari kegiatan yang menyita fokus. "Tinggal masukin barang doang."

Bukannya takut melihat wajah kusut Amon, Tole tertawa-tawa sembari menyahut, "Lamaan mana sama berantemnya lo dan Agit?" Di sampingnya, Jauza ikut-ikutan tertawa.

Ralat, Jauza tidak hanya ikut-ikutan tertawa. Lelaki itu menambahkan, "Masih mau minta maaf sama Agit, ga? Walaupun tiap nyoba ditolak mulu."

Hanya orang gila yang mengingatkan Amon akan sesuatu yang membuat dirinya muak. Mereka termasuk orang gila. Golongan yang dengan senang hati bicarakan soal penolakan Nagita terhadap usaha minta maaf Amon. Mereka bisa menyebut alasan yang pernah Nagita berikan dan Amon bisa melayangkan tamparan pada dua orang itu.

Masih untung mereka hanya mengungkit penolakan Nagita. Masih dapat diterima oleh Amon. Beda cerita kalau mereka menyebut Damian alias pengacau hidupnya nomor satu. Belum lagi kalau Fanny yang belakangan kembali melancarkan usaha pendekatan diseret-seret. Bisa-bisa hari pertama ujiannya kacau balau.

"Ngomong lagi." Amon tersenyum masam. "Ngomong doang lo berdua. Bantuin juga enggak."

"At least gue bantuin lu biar itu duit balik."

Sekesal-kesalnya Amon terhadap Jauza, ia tidak bisa mengabaikan peran lelaki itu dalam drama antara dirinya dan Damian. Tanpa ide gila Jauza, perjuangan Amon sia-sia. Barang yang merupakan hak miliknya pasti akan habis di tangan orang tak bertanggung jawab dan ia akan menangisi hal itu sampai akhir hidupnya.

Hingga pemikiran soal penyesalan itu muncul dalam benak Amon, Tole dan Jauza belum selesai berdiskusi. Mereka masih mendebatkan tempat paling aman untuk menyimpan barang yang entah apa. Amon meringis. Lucu rasanya melihat teman sendiri menyelamatkan sekaligus menghancurkan hidupnya dan sekarang tertawa dengan teman satunya dalam rangka melakukan kegilaan lain.

"Perlu bantuan lagi, ga? Kali, gitu, Agit mau maafin lo berkat ide cemerlang gue."

Jauza tidak tahu kalau Amon menganggapnya setengah gila. "Ga, makasih," tolak Amon yang mengusul tawaran lain. "Mending bantuin manjat pagar labas. Habis, kayaknya kita bakal sampai pas gerbangnya udah ditutup."

∙ ∙ ∙

Amon menolak mentah-mentah bantuan Jauza. Bukan hanya karena rentetan sial yang ia dapat, tetapi juga keyakinan bahwa ia dapat berjuang sendiri. Selama ada kesempatan, ia akan mengusahakan pertemuan yang selalu tertunda. Lebih cepat lebih baik. Apalagi ini sudah minggu ujian, yang berarti sebentar lagi murid-murid menikmati libur panjang.

Lelaki itu langsung menghampiri Nagita begitu sosoknya terlihat di pintu ruangan ujian. Jelas, mana mau ia menyia-nyiakan kesempatan? Lagi pula, baru hari inilah ia keluar lebih dulu daripada Nagita. Karena pencapaian ini belum tentu terulang, Amon memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.

"Agit." Rasanya canggung menyebut nama yang telah menjadi masa lalu baginya langsung di depan yang bersangkutan. Butuh waktu lama, butuh banyak oksigen yang keluar-masuk tubuhnya sampai Amon berani menyampaikan maunya. "Gue minta maaf soal yang waktu itu."

"Oh."

Respons singkat yang Nagita sampaikan tanpa menatap lawan bicaranya itu buat Amon gundah. Pasalnya, Nagita secara tak langsung menciptakan kecanggungan. Kesannya ogah-ogahan meladeni si lelaki. Sementara itu, Amon yang sama sekali tidak menyangka respons Nagita tergagap. Bingung merangkai kata. Salah bicara, bisa-bisa ditinggal.

Tapi, apa betul Nagita enggan berinteraksi dengannya kalau yang perempuan itu lakukan malah diam di tempat dan bukannya pergi?

Malah Amon yang ingin pergi. Suasana hati yang memburuk karena tanggapan si perempuan semakin buruk saat orang tak diundang menampakkan diri. Tak salah lagi, Damian muncul. Lelaki itu datang dari arah belakang Nagita sambil senyum-senyum sendiri. Lagaknya seperti orang yang mau mengambil alih dunia. Lain hal dengan Amon yang cemberut. Diam mengumpati kehadiran musuhnya dan fakta bahwa mereka bertiga, bahkan berempat, saling terkait dalam sebuah masalah.

Mau menonjok pun enggan. Selain malas menciptakan keributan, masih ada satu kompetisi yang mengharuskan mereka bekerja sama sebelum regenerasi. Sebagai kapten, tentu saja Amon memilih damai.

Sebelum Damian membuka mulut, Amon menyatakan keinginan keduanya. "Gue mau ngomong. Mau lurusin salah paham kita."

"Sekarang banget?"

"Ehm."

Nagita menoleh, mendapati Damian melambaikan tangan padanya. Sama seperti Amon, raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan.

"Ngomongnya besok aja, Mon." Demikianlah. Nagita kehilangan semangat bicara. Terima kasih pada Damian yang hadir untuk membuatnya minggat. "Duluan, ya."

Merelakan pertemuan yang dinanti-nanti memang menyesakkan walaupun Amon bisa mendapat hiburan gratis. Sembari menyesali gagalnya pertemuan mereka, ia menyaksikan Damian yang berulang kali memanggil Nagita. Lelaki itu bahkan rela mengejar targetnya. Hasilnya jelas. Nagita berlalu tanpa menggubris si lelaki, buat Amon tertawa puas menonton hiburan gratis.

Di tangan Damian, tawanya dapat dinarasikan sebagai bagian dari satu konspirasi. Amon sadar. Dan ia tidak peduli. Tawanya malah semakin keras saat Damian beri tatapan tajam. Masa bodoh mau dibilang menghalangi interaksi, yang penting ia punya alasan untuk berbahagia hari ini.

Amon mengujarkan sebuah kalimat penutup sebelum berbalik arah. "Satu sama."

iya, kamu!Where stories live. Discover now