chapter 16

7 1 0
                                    

Acara doa bersama ada cuma buat ngotor-ngotorin baju, kata Jauza sewaktu Amon menanyakan kehadirannya pada acara tersebut. Jauza secara implisit menyatakan bahwa keputusannya sama seperti tahun kemarin. Lelaki itu akan menambah satu hari libur dalam kalendernya. Jika murid kelas sepuluh dan sebelas libur sejak hari Sabtu, Jauza libur sejak hari Jumat. Amon hafal betul tingkah sohibnya, jadi percuma memaparkan alasan pentingnya hadir dalam acara doa bersama.

Lagi pula, pemikiran mereka tidak sepenuhnya berseberangan. Amon akui, datang mengikuti acara doa bersama hanya usaha mengotori seragam sendiri. Lihat saja, acara itu selesai pukul sembilan pagi. Kurang lebih dua setengah jam sejak Amon berangkat. Agendanya pun hanya duduk berbaris di lapangan upacara. Iya, duduk diam dan mengamini doa-doa yang dirapal oleh pemimpin acara. Setelahnya, tak ada apa-apa. Murid-murid bebas melakukan apa pun, termasuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka bahkan dianjurkan untuk pulang secepat mungkin karena sekolah akan disterilkan.

Amon masih setia menunggu di tepi lapangan meskipun acara sudah selesai lima belas menit lalu. Sesekali ia mengecek ponsel, sesekali ia menoleh ke sana ke mari mencari orang. Yang ditunggunya adalah Nagita, yang pagi tadi setujui ajakannya pulang bersama. Mereka janjian bertemu di dekat saung segera setelah acara doa bersama selesai, tetapi yang ditunggu tidak kunjung menampakkan diri. Apa ada urusan sama guru dulu? Apa ditahan sama ketua kelas buat bantu ngumpulin tugas? Amon mendaftar alasan yang memperlambat kehadiran si anak kesayangan guru. Ia lantas mengecek ponselnya lagi, barangkali ada kabar dari Nagita.

"Gue mau ngomong."

Seorang perempuan menghampiri Amon. Suara dan nada bicaranya meneriakkan bahwa perempuan itu bukan Nagita. Amon tahu, itu teman sekelas orang yang ia tunggu. Kedatangannya seperti kesempatan emas bagi Amon untuk menanyakan keberadaan Nagita. Akan tetapi, yang muncul dalam benak Amon hanya perintah untuk mengubah lokasi pertemuan mereka.

"Amon!"

Belum selesai mengetik pesan untuk Nagita, Amon dipaksa kunci layar ponselnya. "Apa lagi?" Ia terpaksa mendongakkan kepala, meladeni perempuan yang sedang berkacak pinggang di hadapannya. Perempuan itu memilih diam, jadi Amon lekas bangkit dari duduknya. "Kalau masih soal yang dulu, gue pergi. Ada urusan yang lebih penting daripada ngeladenin lo."

"Nagita?"

"Nagita kenapa?" Amon balik arah, menggertak perempuan yang membisu setiap kali ia tanya. "Jawab, Fanny. Lo ga mungkin ngediemin gue terus kayak gini."

Fanny mencengkeram kerah seragam Amon. "Lo yang jawab," paksanya. "Kenapa lo mesti deketin dia juga, sih? Kenapa enggak biarin Damian aja? Dan—" Ia putus deretan pertanyaannya untuk mengencangkan cengkeramannnya. "Kenapa harus lo dari sekian banyak cowok? Lo mau ngambil alih tongkrongan? Apa lo disogok? Apa lo dipelet sama dia?"

Amon mencoba menyingkirkan tangan sang puan. "Apa urusannya lo sama ini?" Berulang kali mencoba, hasilnya selalu coba lagi. Perempuan itu jauh lebih sinting daripada yang Amon kira. Persis orang kerasukan karena tingkahnya sudah lewati batas waras.

Dan mungkin setan yang merasukinyalah yang berteriak, "Jawab gue dulu!" Demi apa pun, baru kali ini Amon mendengar Fanny mengeluarkan teriakkan yang buat telinganya pekak.

"Bikin budek aja lo," umpat Amon sambil mengusap-usap telinganya. "Apaan lagi yang mesti gue jawab?"

"Lo ga denger gue nanya sebanyak itu?"

"Enggak."

Melonggarnya cengkeraman Fanny pada kerah seragamnya mendatangkan firasat baik. Amon yakin perempuan itu akan melepaskannya seusai mendengar jawaban yang mengecewakan. Maka ia senyum-senyum, tak sabar menjemput kebebasan. Mulutnya bergerak, meminta, "Lepasin, dong."

iya, kamu!Where stories live. Discover now