chapter 31

3 1 0
                                    

Belakangan, hari-hari Nagita terasa hambar. Kesehariannya hanya seputar belajar, latihan drama, pulang, mengerjakan tugas, dan istirahat. Interaksi dengan teman-teman yang dikira bisa mengurangi kehambaran hidup tak dapat berbuat banyak. Canda tawa dan cerita yang ia bagikan hanya pemanis sementara dalam hari-hari penuh kebingungan.

Nagita acap kali memikirkan bagaimana harinya berjalan apabila Amon diberi izin masuk kehidupannya lagi: punya banyak rasa, memusingkan, atau penuh kejutan? Sejauh ini, Amon membawa berbagai rasa dan kejutan. Sayang, rasa terakhir yang ia cecap kelewat pahit. Kesal, sedih, sesal, tiga jenis rasa itu bersatu menghasut ia untuk menolak kehadiran Amon.

Dengan emosi yang belum tertata, Nagita menurut. Berkali-kali Amon tampakkan diri, berkali-kali pula ia abaikan kehadirannya. Alasan demi alasan Nagita ciptakan. Teman demi teman ia korbankan. Pertemuan demi pertemuan yang direncanakan ia akhiri dalam sekejap. Bukannya benci, Nagita belum siap menghadapi Amon. Ia belum siap hidupnya dibuat naik-turun oleh Amon. Lebih lagi, fokusnya pada saat ini terletak pada drama kelas alias ujian hidup-matinya murid kelas sebelas.

Dalam ingatan, tersisa waktu kurang dari dua bulan menuju pementasan. Dalam jadwal, sisa waktu tersebut terpotong libur bulan Mei dan ujian pada bulan Juni. Jumlah hari yang bisa digunakan pasti sangat minim sampai-sampai Tanisha selalu mengingatkan teman-teman sekelasnya untuk memaksimalkan tiap latihan. Nagita bahkan hafal pidato pembuka latihan drama yang Tanisha ucapkan, Temen-temen, tolong serius, ya, latihannya. Kita cuma punya waktu dikit sampai pementasan, sementara yang mesti kita kerjain masih banyak. Semangat, semoga masih waras sampai kelar pentas.

Berhubung pementasan drama memengaruhi nasib empat puluhan siswa, Nagita bertekad menunjukkan penampilan terbaik. Maka ia sebisa mungkin meluangkan waktu untuk bermesraan dengan naskah. Jam istirahat sering kali jadi pilihan. Saat orang-orang keluar kelas, saat itulah ia mengeluarkan naskah.

Saat itu, Nagita benar-benar lupa Indah menolak ajakan ke ruang guru. Ia hampir melompat dari kursi ketika perempuan itu bercerita, "Kemarin, gue habis ngobrol sama Amon. Gue bilang kalau lo enggak mau ditemuin sampai UKK kelar."

"Lama banget. Perasaan gue pesennya cuma enggak mau ketemu dia."

"Kalau lo bilangnya cuma enggak mau ditemuin, nanti sore orangnya bakal ke sini lagi," jelas Indah yang sempat-sempatnya minta izin pada Tanisha untuk tempati kursinya, lantas mengiyakannya karena yang bersangkutan sedang di ruang guru. "'Kan lo pernah bilang kalau mau fokus dulu ke pelajaran sama drama kelas. Jadi, gue kira-kira sibuknya sampai selesai UKK."

"Kirain sampai selesai drama kelas," canda Nagita. "Tanisha yang minta gue fokus ke drama kelas. Efek kita latihannya kepotong libur sama ujian juga, sih, jadi mesti latihan lebih keras."

"Drama kelas cuma beda dua hari sama hari terakhir ujian. Lagian, Amon enggak bakal punya kesempatan buat nyamperin lo di dua hari itu. Dia pasti sibuk nyiapin ini-itu di kelasnya. Enggak cuma dia, gue yakin satu koridor sibuk semua pas H-1. Pasti bakal ramai sampai malam."

"Tapi, Ndah," sanggah Nagita, "Kelamaan, ga, kalau diemin Amonnya sampai UKK atau drama kelas selesai?"

"Lo udah ga kesel lagi sama dia?"

Nagita membisu. Kekesalannya terhadap Amon memang telah berkurang. Tetapi, setiap ia melihat Fanny atau Damian, rasa kesalnya kembali.

"Kalau masalahnya udah clear, kenapa tiap dia nyamperin malah diem aja?"

Masalahnya, Indah tak pernah tahu betapa bingungnya Nagita menyusun kalimat tanggapan. Indah tak pernah tahu betapa takutnya Nagita memulai pembicaraan dengan Amon. Lelaki itu kini seperti orang asing baginya. Ia takut, sangat-sangat takut salah bicara sehingga respons Amon jauh dari harapannya.

"Gue ... pengin konsen dulu sama urusan lain." Nagita mengulang pernyataannya di awal. "Gue enggak mau konsentrasi gue buyar gara-gara bicara sama dia. Dan gue juga enggak mau dia kenapa-napa gara-gara bicara sama gue."

Dan Indah tidak pernah tahu kalau lima puluh persen kalimat Nagita barusan berisi kebohongan.

∙ ∙ ∙

Hari yang datar ketambahan rasa sejak Nagita memasuki kamar mandi sekolah. Ia yang sekadar ingin cuci tangan mendadak memikirkan ide-ide gila usai menyadari betapa kosongnya tempat tersebut. Tiada orang, berarti ia bebas bertingkah. Bisa menari bak orang kegirangan, bisa pula menyuarakan keluh kesah perihal latihan yang akan dilanjutkan setelah istirahat lima belas menit.

Ide-ide gila yang bermunculan gagal memengaruhinya untuk mengabaikan suara dari luar. Jadi, alih-alih menari atau mengeluh, Nagita bersembunyi di balik pintu. Ia menajamkan pendengarannya demi menebak pemilik suara yang familiar. Demi mencerna pembicaraan yang menyeret namanya dan Amon.

"Gue habis ngomong sama Amon. Kemarin." Suara pertama ia simpulkan sebagai milik Damian. "Asal lo tau, Amon udah ga demen sama lo."

Suara lainnya terdengar setelah seorang perempuan mendengus. "Ga mungkin." Hanya dengan mendengar dua kata, Nagita tahu suara itu berasal dari Fanny.

"Emang responsnya ke lo ngenakin?"

"So-so."

"Tapi dia lebih demen sama Agit, 'kan, daripada lo."

"Ini nanya apa ngasih tau?"

"Dua-duanya?"

"Lo ceesan gue apa musuh, sih?" Fanny meninggikan suaranya. "Please, lah. Meski gue tau peluang Amon masih gamon cuma satu persen, gue percaya satu persen itu bakal kejadian. Lo tau sendiri, 'kan, gue masih pengin dapetin dia dan lo masih mau deketin Nagita. Kita udah sepakat buat saling bantu. Jangan bikin gue nyesel ceesan sama lo."

"Mau denger gue bilang kalau Amon masih demen sama lo? Atau pengin denger gue bilang kalau Agit enggak pernah ada?" tawar Damian sebelum tawa dominasi pembicaraan mereka.

Nagita menyandarkan punggungnya pada pintu kamar mandi. Orang kenapa bisa sejahat itu, ya? Sampai sekongkolan demi jatuhin orang lain. Kepalanya bergerak ke kanan ke kiri, bergesekan dengan pintu yang tiba-tiba terbuka.

Kelanjutannya jelas. Nagita terduduk di luar kamar mandi, tepat di depan Damian dan Fanny. Dua orang itu perlahan menghentikan tawa mereka, lantas tatap puan yang terjatuh. Heran, sama herannya dengan Nagita yang tidak menyangka akan tertangkap basah menguping pembicaraan mereka. Padahal, Nagita merasa telah bersembunyi dengan baik.

"Agit."

Akal sehatnya menerjemahkan suara Damian sebagai panggilan, tapi perasaannya mengartikan suara tersebut sebagai peringatan.

"Git, gue mau ngomong."

Ia anggap panggilan kedua sebagai perintah untuk berdiri, kemudian lari secepat mungkin.

"Git, lo salah paham."

Panggilan ketiga, hilang sudah toleransi Nagita. Sambil membawa kekesalan yang terkumpul selama menyimak obrolan mereka, ia lari sejauh-jauhnya.

iya, kamu!Where stories live. Discover now