chapter 3

15 4 2
                                    

Senin selalu dipenuhi kejutan. Upacara yang pekan lalu memakan waktu lebih dari sejam sekarang hanya separuhnya. Razia atribut yang diadakan hampir tiap pekan rehat sejenak pada hari itu. Lucunya lagi, orang yang pekan kemarin mesti berdiri di barisan terpisah karena lupa membawa topi sekarang maju karena sukses bawa sekolah mereka ke podium teratas kompetisi basket antarsekolah.

Rezeki emang enggak ke mana-mana. Amon, kapten tim basket sekolah, pamerkan senyum terbaiknya ketika mengangkat piala. Ia jauh lebih bangga dibanding siapa pun di sana. Ingin ia teriakkan pada dunia, Gue berhasil bawa balik lagi piala basket ke sini! Amon sungguh ingin melepas beban yang selama bebearpa bulan terakhir ia panggul dengan memamerkan piala tersebut. Tetapi, mengingat piala yang tim basket dapat pada akhirnya akan disimpan pihak sekolah, lebih baik Amon diam. Menikmati waktunya sebagai siswa berprestasi sebelum namanya kembali mengisi kartu kuning.

Walaupun waktu yang diberikan untuk memamerkan prestasi di hadapan seluruh warga sekolah kurang dari lima menit. Mungkin lebih, tetapi Amon merasa waktu berjalan begitu cepat selama ia ada di depan tiang bendera. Baru sedetik pegang piala, tahu-tahu sudah diminta oleh pihak sekolah. Kalau tahu akhir kisahnya akan begini, Amon dan teman-temannya memperbanyak foto dengan piala mereka.

Sepatah-dua patah pesan dari Pak Kadir menutup upacara. Beliau membubarkan barisan, mulai dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, setelahnya. Murid-murid yang ingin cepat-cepat kembali ke kelas meninggalkan lapangan dengan senang. Mereka berlomba mencapai tangga-tangga yang menghubungkan lapangan dan area kelas. Tangga-tangga yang tersebar dari pojok kanan hingga kiri gedung dua lantai dipadati murid. Mereka membuat antrean yang tak ada habisnya, yang picu Amon untuk berbelok ke tempat lain.

Amon yang tadi memutuskan langsung ke kelas mengubah arah jalannya menuju kantin. Sedikit menyesal waktu istirahatnya telah berkurang banyak karena terlalu lama mengantre naik tangga. Teman-temannya mungkin sudah kembali ke kelas masing-masing dan guru-guru mungkin sudah berangkat ke kelas tujuan ketika ia tiba di kantin. Tak apa-apa. Amon takkan balik arah hanya karena itu. Ia memang perlu mengisi perut sebelum terjebak di bangku paling belakang selama pelajaran Sejarah.

"Katanya mau ke kelas."

Sambutan teman-temannya yang menguasai pojok kiri kantin diiringi permintaan supaya Amon mau berkumpul dengan mereka barang sejenak, tapi lelaki itu tahu waktu yang tertera di jam tangannya terlalu singkat. "Jalan penuh," sahut Amon. "Gue mau ngopi dulu. Kalau mau ke kelas, duluan aja. Eh, Ja, kalau gurunya udah datang, bilangin gue lagi di toilet."

Temannya yang dipanggil Ja itu terkekeh. "Sebebasnya lo aja, dah," tanggap lelaki yang langsung melompat dari tempatnya duduk.

Amon turut tertawa. Sebentar saja, sampai ia mencapai gerai yang dituju. "Es teh satu, Mas," pesannya tanpa ragu. Sebelumnya, pilihannya jatuh pada kopi. Tetapi, teh sepertinya lebih baik untuk diminum pagi hari. Harganya juga sama. "Dua apa tiga ribu, nih?"

"Dua ribu." Si penjual menyambut selembar dua ribu yang Amon berikan. "Masih muda udah lupaan aja, Mon."

"Maklum, lah, habis sibuk." Amon menengok ke kanan dan menemukan seorang perempuan menggerakkan tangannya di atas deretan saset minuman. Ia membungkuk, mengamati perempuan yang hanya terlihat sisi kiri wajahnya. "Nagita, bukan? Apa kabar, Git?"

"Amon ke mana aja? Kemarin-kemarin enggak kelihatan di sekolah." Benar-benar mengejutkan. Dari banyak tempat, semesta mempertemukannya dengan Nagita di gerai minuman yang mengisi lapak sebelah kanan gerai ketoprak. Lebih mengejutkan lagi, tatapan Nagita menunjukkan kalau ia siap memukul Amon semisal tidak diberi jawaban serius.

"Itu." Amon menggaruk tengkuknya. "Habis lomba basket. Lumayan, 'kan, dapetin piala sama duit. Tadi juga sampai maju pas upacara."

"Tapi, 'kan, pialanya diminta lagi sama sekolah."

iya, kamu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang