chapter 33

3 1 0
                                    

Ujian tinggal sehari; tugas masih menumpuk. Nagita tak hanya harus mempelajari materi yang akan diujikan. Ia juga harus mempersiapkan diri mengikuti gladi resik pementasan drama kelas. Selain itu, ia ditugaskan memesan konsumsi untuk para junior yang akan menonton penampilan mereka. Kalau Nagita manusia normal, ia akan menyelesaikan tugas satu per satu. Bukannya bingung setelah menyelipkan tugas-tugas dengan urgensi rendah: menemui Amon dan potong rambut secara diam-diam.

Mengusir kebingungan, Nagita daftarkan semua tugasnya di atas secarik kertas. Ia buat kolom deadline di sisi kanan dan pelan-pelan mengisinya. Gladi bersih drama kelas, besok. Pesan konsum, siang ini. Potong rambut, secepatnya. Ketemu Amon, hari ini atau besok ... mengapa tiada waktu pasti untuk rencana yang satu itu?

Sebelum tinta pulpen menggenang di tengah barisan, ia tetapkan waktu temunya dan Amon. Secepatnya.

Jika secepatnya berarti hari ini, maka ia akan menyelesaikan tiga tugas berurutan. Menemui Amon, memesan konsumsi, kemudian memotong rambut.

Ketiganya sama-sama berat. Bertemu Amon berarti siap menghadapi tanya jawab dadakan. Memesan konsumsi berarti berduaan dengan Fanny. Sedangkan potong rambut berarti diomeli Tanisha karena penampilannya berbeda dengan cerminan tokoh yang diperankannya dalam poster drama kelas mereka.

Adakah pilihan yang baik? Tidak. Haruskah Nagita memilih salah satu agar ia bisa lekas menyelesaikan tugas-tugasnya? Iya.

Baiklah, kalau memang harus memilih, Nagita akan mendaratkan pilihannya pada tugas termudah. Bukan potong rambut, bukan pula memesan konsumsi. Ia tanpa ragu membuka Line, menghubungi lelaki yang sudah berapa hari disiksa harapan palsu. Masih di sekolah, ga? tanyanya kepada Amon yang sekarang entah di mana. Titik keberadaannya susah ditebak, tapi Nagita berharap lelaki itu masih di sekitar sekolah. Sebab hanya dengan cara itulah ia bisa bertemu dengan Amon sebelum Fanny menyeretnya keluar sekolah.

"Masih nungguin doi?" Kalau Nagita tidak segera membalikkan ponselnya, pesan-pesan yang ia kirimkan pada Amon akan terlihat oleh Tanisha. "Nungguin Fanny, maksudnya."

"Kirain apaan," gumam Nagita. "Iya. Orangnya belum balik dari kantin."

Tanisha membulatkan mulutnya. "Tabok aja kalau ga balik-balik." Ia tepuk pundak Nagita. "Duluan."

"Hati-hati!"

Ponselnya bergetar, menampakkan pemberitahuan dari Amon. Lo masih di ruang ujian, 'kan? Biar gue samperin.

Terlambat. Mana sempat Nagita menanggapi tawaran Amon kalau pemikiran soal lelaki itu saja membuatnya ingin cepat-cepat keluar ruangan? Jadi, daripada balas pesan Amon, ia langsung meninggalkan ruangan. Buru-buru mendekatkan diri ke tembok pembatas. Pandangannya mengarah ke bawah. Seolah-olah tahu si lelaki ada di sekitar kantin.

Begitu orang yang dinanti-nanti menampakkan diri, Nagita berteriak, "Amon!"

"Ya?" Amon menoleh. Senyum-senyum sambil menunjuk Nagita yang melambai-lambaikan tangan. "Seneng bener ketemu gue."

"Kelihatan banget, ya?"

"Ga pa-pa, Git. Lucu."

"Sempet-sempetnya ngalus." Semisal mereka hanya terpisah hitungan sentimeter, Nagita akan menghujani lengan Amon dengan pukulan. Dan andaikan waktunya tak terbatas, mereka mungkin sedang bercanda ria. Nagita mungkin tak langsung melompat ke inti pembicaraan. "Maaf, ya, kemarin batal terus ketemuannya."

"Santai aja. Masih ujian ini," jawab Amon. "Kirain bakal sekalian habis drama kelas. Sekalian biar waktunya panjang."

"Emang mau ngapain, sih, ketemuan lama-lama?"

"Jalan."

"Jalan ke mana?"

Amon berjalan menuju tangga di sisi kanan gedung tiga lantai. "Jangan ke mana-mana. Gue naik." Melalui perintah singkat, Nagita dibuat bertanya-tanya. Hal apa lagi yang akan lelaki itu lakukan setelah muncul di hadapannya dengan senyuman tulus? Memberi pidato panjang untuk membuka pertemuan yang mereka tunggu atau langsung memeluknya?

Tidak. Lelaki itu justru meraih jemarinya.

Pertama kali Amon menggenggam jemarinya lagi, Nagita mengira kemarahannya akan memuncak. Ia akan menangkis tangan si lelaki tanpa ampun, lalu mulutnya akan mengucap mantra pengusir. Yang terjadi justru sebaliknya. Ia sambut jemari Amon dan balik menggenggamnya. Sesaat, mereka diam. Sesaat, mereka bertatapan. Sesaat, pikirannya melayang. Lalu kembali dengan membawa kesimpulan bahwa masalah kemarin sudah selesai.

Selanjutnya, yang Nagita dengar adalah suara Fanny.

"Beli sekarang aja, yuk, Git."

∙ ∙ ∙

Satu-satunya sisi positif dari perjalanan siang ini adalah letak tempat yang mereka datangi. Letak tempat yang dekat dari sekolah menguntungkan keduanya. Nagita yang enggan berlama-lama dengan Fanny lega karena perjalanan mereka singkat. Sebaliknya, Fanny yang sepanjang jalan mendiamkan Nagita bernapas lega ketika mereka memasuki toko.

Mereka yang ingin cepat-cepat kembali ke rumah mempersingkat urusan dengan langsung mendaftar pesanan. Nama-nama makanan ringan mereka sebut tanpa berdiskusi dahulu. Si pemilik toko mengangguk-angguk sambil mencatat pesanan mereka. Kemudian, wanita paruh baya itu mengulangi pesanan. Ia bantu mereka memisahkan yang perlu dan tidak, buat kesepakatan tercapai tanpa harus tunggu waktu lama.

Oh, keren. Betapa cepat selesainya tugas yang Nagita kira bakal membuat dirinya dan Fanny berduaan berjam-jam.

"Iya, diambil lusa. Pagi," jawab Nagita saat sang pemilik toko memastikan tanggal pengambilan pesanan. "Saya yang ngambil."

"Diambil sekitar jam 6-an, bisa?" tambah Fanny. "Kita bakal di sekolah dari setelah subuh, kalau lo nyadar."

"Oke. Lusa sebelum jam 6 pagi, ya, Bu."

Nagita menghirup kebebasan sekeluarnya mereka dari toko. Tanpa suara, ia antar ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu lancarnya urusan mereka. Terima kasih kepada toko yang lokasinya dekat dari sekolah, kepada jalan yang lengang, kepada pemilik toko yang mempermudah pemesanan, dan kepada teman kelas yang bersedia membeli air mineral kemasan sehingga mereka hanya perlu memesan makanan.

Bukan kepada Fanny yang membuka perbincangan sembari menunggu angkutan umum. "Git, sebenernya hubungan lo sama Amon itu apa, sih?"

Nagita meringis, tidak menyangka Fanny segitunya ingin tahu tentang kehidupan pribadinya. "Bukan apa-apa." Setidaknya, ia merasa tenang usai memberi jawaban yang paling tepat.

iya, kamu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang