chapter 25

6 1 0
                                    

Mimpi semalam masih membayang-bayangi Nagita. Mimpi yang menakdirkannya menjadi bahan olok-olok warga sekolah itu membuatnya melakukan kecerobohan nonstop. Salah ambil handuk, menjatuhkan sendok saat sarapan, bahkan ia nyaris lupa ada penampilan tari yang harus direkam. Kemudian, kenyataan bahwa Amon memilh pergi ketimbang menyelamatkannya memunculkan satu keraguan dalam benak Nagita. Kira-kira dia ada di sisi yang mana? Orang-orang yang beneran tulus atau cuma mau seneng-seneng sama gue?

Sore itu, Amon berkelakuan selayaknya orang yang bergembira sehabis digempur tugas. Bermain air di pinggir pantai, sesekali menertawakan teman sendiri yang ia cipratkan air. Senyumnya begitu lebar, mungkin lebih lebar dibandingkan catatan janji yang pernah diumbarnya pada Nagita. Sekilas, lelaki yang bersenang-senang itu bebas dari tabiat buruk.

Dengan kamera dalam genggaman, Nagita tergoda untuk memanfaatkan situasi. Ia menutup galeri yang menampilkan foto-foto hasil wawancara turis asing, lantas membuka mode kamera. Alat potret yang belum diperintahkan untuk mengambil gambar itu disuruhnya menyasar sekelompok lelaki yang betah bermain air. Lebih tepatnya, pada Amon yang tampak mungil dibandingkan kawan-kawannya. Pada lelaki yang bisa-bisanya menyadari keberadaan kamera yang mengawasinya, yang pelan-pelan melangkah mendekati si pemilik kamera.

"Ngelihatin apa, tuh, Git?"

Hampir saja Nagita terguling di pasir. "Foto pas wawancara." Jempolnya menuruti intuisi, mengklik foto apa pun yang semoga sesuai perkataannya.

Sementara Amon mendekat, berusaha mengintip foto yang Nagita maksud. "Oh, barusan."

"Enggak sopan, main ngintip aja," protes Nagita kepada lelaki yang duduk mepet dengannya, padahal pasir pantai menghampar luas.

"Bagus, kok, Git."

"Eh?"

"Fotoin gue bisa, kali." Amon mengangkat alis. "Mumpung sepi. Enggak bakal ada yang ngeledekin."

"Halah. Ada aja modusnya," cibir Nagita yang sigap mengarahkan kamera kepada Amon. "Satu, dua ...."

Kecepatan tangannya menekan tombol shutter selalu menahan hitungannya pada angka dua. Nagita tidak membutuhkan angka tiga untuk menyelesaikan hitungan yang ia lakukan. Juga unutk menyadari ada sensasi aneh yang merasukinya selagi memotret Amon. Semakin banyak potret lelaki itu dalam kameranya, semakin gila dirinya. Mata yang seharusnya fokus mengatur posisi supaya hasil fotonya tampak sempurna malah terpana melihat lelaki di hadapannya. Sementara pikiran kosong Nagita terisi pertanyaan sepele. Kenapa bisa secakep ini waktu dilihat dari deket?

Nagita masih terbengong-bengong ketika Amon meminta, "Lihat fotonya, dong." Lamunannya berlanjut selama si lelaki melihat-lihat hasil foto. Sepasang matanya turut bersinar ketika manik Amon berbinar-binar. Senyumnya ikut mengembang ketika Amon menunjukkannya. Dan pipinya tiba-tiba menghangat ketika lelaki itu membaringkan kamera di pangkuan telapak tangannya. "Makasih, Git. Kado dari gue nyusul, ya."

Jejak sentuhan Amon masih terasa hangat ketika Nagita mengusap kameranya. Ia rasakan kehadiran lelaki yang kini berjalan riang menuju kawanannya. Walau jauh, terdengar teriakan Amon, "Masih betah aja main di situ!" Disahut seorang teman, "Lah, lo ngapain tadi nyamperin Agit? Mau ngerayain ulang tahun bareng?"

Nagita melongo. Tunggu, bukannya dia yang ulang tahun? Kenapa jadi gue yang mau dikasih kado?

∙ ∙ ∙

Terlepas dari tujuannya mengumpulkan peserta karyawisata supaya mereka dapat memamerkan hasil latihan, malam keakraban menjadi acara paling menakutkan. Bukan karena penampilan meriah kelas-kelas lain, tetapi pengaturan posisi duduk para peserta. Bagi Nagita yang sehari ini menghindari Damian, duduk berdekatan dengan kelas lelaki itu memperpanjang daftar kesialannya. Niatnya datang untuk menikmati penampilan kelas lain, Nagita malah was-was sepanjang acara. Ia takut diajak berbicara oleh lelaki yang kapan pun bisa pindah ke belakangnya—sekadar informasi, mereka hanya dipisahkan oleh satu kursi. Sialnya lagi, kelas Amon yang Nagita kira akan menempati barisan di belakang kelasnya justru duduk di barisan seberang. Untuk menambah kesialannya, Kanya dan Indah yang duduk di sebelah kanan dan kirinya pergi ke toilet sejak lima menit lalu.

iya, kamu!Where stories live. Discover now