chapter 29

6 1 0
                                    

Amon tak pernah menganggap masalah akhir karyawisatanya dan Nagita ditutup sekalipun orang-orang berpikir hubungan mereka yang hanya pura-pura itu telah merenggang atau mempercayai bajingan bernama Damian yang kelewat bangga karena si perempuan yang dikatakan akan menjadi kasihnya dalam waktu sebulan itu menjawab teleponnya. Kesalahpahaman antara mereka masih menjadi perkara selama Amon belum mengucap maaf. Iya, ia terlambat meminta maaf pada hari-H. Amon dengan bodohnya membiarkan Nagita pergi sekaligus mempersilakan si pemilik semesta menyuntikkan penyesalan dalam hari-harinya. Tiap langkah serta pilihan yang ia ambil sejak kejadian itu dianggapnya hukuman. Kutukan. Mungkin, satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari kutukan tersebut adalah meminta pengampunan kepada perempuan yang ia sakiti.

Perubahan jadwal pelajaran yang efektif seusai karyawisata buat kegiatan belajar-mengajar hari Senin di kelas Amon selesai lebih dulu daripada kelas Nagita. Maka, mumpung bisa keluar kelas sebelum koridor ramai, ia langsung lari sprint menuju pintu. Keluar lebih cepat daripada orang-orang lainnya supaya bisa mendapatkan posisi strategis untuk menunggu Nagita. Keputusannya jatuh ke koridor. Di depan kelas, Amon menyandarkan tubuhnya kepada tembok pembatas. Pura-pura fokus menonton murid kelas sepuluh yang berebut bola sepak di lapangan futsal. Pura-pura mengomentari kelakuan mereka, padahal mulutnya komat-kamit panjatkan harap agar bel pulang cepat berbunyi. Begitu doanya terkabul, ia langsung berlari ke tujuan.

"Sore, Bu," sapanya riang saat guru pengajar keluar dari kelas Nagita. "Doain saya, ya, Bu," pintanya sambil pamerkan senyum ala bintang iklan pasta gigi. Barangkali keramahannya membuat sang guru luluh dan mau mendoakan supaya usaha apa pun yang hendak dilakukannya berhasil.

Sang guru bertanya, "Doain apa?" Wanita yang usianya kurang dari tiga puluh itu tertawa pelan melihat muridnya cengar-cengir. "Ah, itu. Semoga berhasil, ya."

"Amin. Makasih, Bu. Makasih banyak." Berulang kali Amon mengucap terima kasih kepada wanita yang melanjutkan perjalanannya ke ruang guru itu. Meminta restu pada guru sendiri agaknya meningkatkan kepercayaan dirinya, jadi Amon dengan lantang menyapa warga kelas, "Ada Nagita, ga?"

"Ga ada."

"Ada, ah. Orangnya belum keluar kelas."

"Sok tau. Dia udah keluar duluan."

Amon mengangguk-angguk, paham kalau kebohongan Tanisha bukanlah sesuatu untuk dibantah. Ia melihat sendiri Nagita bersembunyi di kolong meja. Sering kali mengode ini-itu kepada Tanisha. Mungkin perempuan itulah yang meminta sang kawan untuk berbohong sehingga Amon menyerah.

Baiklah. Kalau Nagita enggan bertemu dengannya, ia akan mundur. "Iya, gue tau. Tolong kasih tau orangnya, ya, gue datang ke sini mau lurusin salah paham," ujar Amon yang kaget bukan main setelah balik badan.

Pasalnya, seorang perempuan menyambut Amon tepat di belakangnya. Sekarang mereka berhadapan dengan jarak kurang dari sepuluh sentimeter. Betulan terasa seperti mimpi buruk, apalagi ketika perempuan itu menyatakan maksud hadirnya. "Mau balik bareng gue aja, ga, Mon? Daripada lo ga ditanggepin sama Nagita."

"E-enggak, gue ada urusan penting di belakang," kilah Amon kilat. Lelaki itu ambil langkah seribu, mengacir dari koridor lantai dua yang mendadak terasa horor.

Amon berkali-kali menampar pipinya sembari menuruni anak tangga ke lapangan basket. Sumpah, gue kirain setan! Ternyata manusia berbentuk setan.

∙ ∙ ∙

Lima empat lima. Tersisa tiga orang di tempat yang mereka anggap rumah kedua. Tiga orang itu sibuk masing-masing: Tole mengerjakan tugas, Jauza mengumpati kekalahannya dalam gim, sedang Amon tidur-tiduran. Melamun. Sepasang manik bulatnya memandangi langit oranye, berusaha mengajak sang empu semesta dan seisinya untuk bicara. Berusaha melakukan negosiasi karena ia sudah tak mampu menghadapi hukuman yang semesta kirimkan. Semesta menyuruhnya introspeksi diri. Amon lakukan. Ia merefleksikan diri atas semua yang terjadi. Renungi pilihan demi pilihan yang telanjur diambil. Sesali kalimat demi kalimat manis yang dahulu ia ucapkan kepada Nagita. Tentu saja, ia melakukannya sambil mengumpati para penghuni alam semesta dan tingkah laku mereka yang aneh bin ajaib.

"Bengong aja." Salah satu sasaran umpatannya adalah Jauza, lelaki yang tiba-tiba meletakkan topi seragamnya di wajah Amon. "Masih mikirin Agit?"

"Mikirin lo," cibir Amon yang kemudian melempar balik topi Jauza. "Kesambet apa sampai ngide begitu?"

"Sendirinya kenapa setuju?" Entah iba atau meledek, Jauza menepuk-nepuk bahu Amon. "Sabar, ya. At least duit lo dibalikin. Walaupun tabungan lo belum seratus persen kekover, sih, sama duitnya."

"Duit balik juga Nagita ngambek sama gue."

Tole yang belum selesai mengerjakan soal menyahut, "Ngambek gara-gara dikira jadi bahan taruhan, Mon?"

Yang ditanya malah mengecek ponsel, memastikan waktu saat ini kurang dari jam enam sore. "Dia cerita?"

"Lo ga tau tadi Tanisha sama Fanny sempet berantem? Beritanya udah kesebar ke mana-mana. Dan sekarang lo beneran dianggap orang-orang cuma jadiin Nagita bahan taruhan," jelas Tole.

Amon menonjok permukaan bangku panjang yang ditidurinya. "Setan. Kapan gue jadiin dia bahan taruhan? Itu, 'kan, cuma biar dia ga deket-deket sama si bajingan aja. Gara-gara lo juga bocorin kalau cewek yang mau dia deketin itu si Agit."

"Biar duit lo balik juga," tambah Jauza. "Udah, lah, Mon, terima aja kalau anaknya masih ngambek sama lo. Yang penting besok ga bangun kesiangan lagi."

"Yang penting lo ga ngajakin mabar semalaman," balas Amon.

"Ngomongin soal ngambek, orangnya masih agak sebel pas gue jelasin soal yang sebenernya." Tiba-tiba Tole melaporkan soal Nagita. Padahal, sudah bagus-bagus nama perempuan itu mulai disingkirkan dari obrolan mereka. "Tapi mukanya fine-fine aja, sih. Ga tau udah mulai ikhlas atau nerima kenyataan kalau lo emang rada berengsek."

"Sekata lo aja, dah," tanggap Amon. Ia mengeluarkan ponselnya lagi. Kali ini, niat utamanya adalah memainkan gim yang tadi membuat Jauza mengumpat. Tetapi, setelah aplikasinya terbuka, ia justru meminta, "Tips minta maaf ke cewek, dong."

"Usaha." Jauza tidak menampakkan rasa bersalah saat Amon menujukan tatapan tajam. "Chat, gitu, biar ada usaha minta maafnya. Ya kali lo ditolak sekali langsung nyerah."

Acara saling tatap antara teman sebangku itu harusnya menjadi sebuah hal yang romantis, bukan menggelikan. Amon yang menganggap cara Jauza memandangi dirinya terlalu menyeramkan sontak memukul bahu lelaki itu. Ia lantas mengubah posisinya. Duduk, menatap layar ponsel yang menampilkan chat terbaca dan tidak terbaca. Tatapannya tertuju pada kontak Nagita yang masih ia sematkan sebagai kontak penting walaupun obrolan mereka sudah lama mati. Ia mengklik ruangan tersebut tanpa pikir panjang dan tanpa pertimbangan apa-apa lagi pun mengetik sederet kalimat.

Seperti kata Jauza, menghubungi yang bersangkutan lewat media sosial kesankan usaha meminta maaf. Sekalipun usahanya diabaikan oleh sang puan.

iya, kamu!Where stories live. Discover now