chapter 27

4 1 0
                                    

Beraktivitas lebih awal bukan jaminan pikiranmu segar sepanjang hari. Itulah yang bisa Nagita simpulkan setelah meninggalkan kamar lebih dulu dibanding teman-teman sekamarnya. Alih-alih merasa tenang, ia kepikiran obrolan semalam selama menjelajahi penginapan. Otaknya memutar rekaman momen saat Kanya bagikan hasil mengupingnya. Setelah itu, rekaman yang otaknya putar adalah momen adu mulut yang kesekian kali antara Amon dan Damian. Nagita meringis ngeri ketika rekaman tersebut sampai pada adegan Amon memamerkan tendangan mautnya. Sambil memandangi tanaman yang berjajar di depan penginapan, ia mendoakan, Jangan sampai Amon begitu lagi hari ini. Biarin gue sama dia nikmatin akhir study tour ini tanpa digangguin Damian.

Bus-bus yang terparkir mengingatkan Nagita akan banyaknya informasi yang tadi malam Kanya tumpahkan. Too much information, mengingat tak semua informasi yang diberi berguna dalam penelitian kecil-kecilannya. Maka ia hanya mengambil benang-benang yang sekiranya penting, lalu mencoba menyambungkannya. Satu kesimpulan muncul dalam benak. Sama seperti yang Indah paparkan semalam, ia mencium aroma sabotase. Kemungkinan besar Amonlah yang menyabotase. Lagi pula, apa mungkin lelaki itu tiba-tiba mendekatinya tanpa maksud tertentu?

Kepalanya pusing bukan main saat kata-kata Tole berputar dalam pikirannya. Sial, mengapa ia harus ingat larangan menerima pengakuan cinta dari lelaki pada waktu sepagi ini? Sudah begitu, satu-satunya orang yang Nagita pikir memenuhi kriteria lelaki dalam pesan Tole adalah Amon. Iya, lelaki yang sedang dekat dengannya, yang dikabarkan akan mengutarakan perasaannya hari ini.

Keresahan yang Nagita kira akan terangkat justru menjatuhkannya dalam lubang kesulitan. Belum selesai pusing kepalanya, ia mesti meladeni perutnya yang mual. Ditambah lagi kedatangan Indah untuk mengajaknya mengisi perut.

"Sarapan, Git."

"Iya," sahut Nagita sembari memegangi perut. Tatapan kosongnya yang terkesan diberikan pada Indah bukan tertuju pada perempuan itu. Nyatanya, ia mengamati sekumpulan manusia yang mengantre untuk mengambil sarapan. Lelaki dan puan bercampur, buat penasarannya bangkit. "Ada Amon, ga?"

"Eh? Enggak tau." Indah menggeleng. "Mau nyamperin dia dulu?"

Bukannya memanfaatkan kesempatan, Nagita membawa Indah kembali ke dalam penginapan. "Langsung sarapan aja," tolaknya terhadap penawaran sekali seumur hidup yang Indah berikan.

Nagita bisa membayangkan wajah kebingungan Indah ketika perempuan tersebut memastikan, "Beneran ga mau ketemuan dulu? Bukannya semalam lo bilang mau ketemuan buat lurusin semuanya?"

"Kapan?" Nagita meloloskan tangan hangat Indah dari genggamannya. "Enggak, deh. Gue enggak ngerasa bilang gitu."

"Lo bilang ...."

Meladeni Indah bukan lagi prioritas Nagita sejak ia melihat banyaknya orang yang hendak mengambil sarapan. Ia langsung mengambil peralatan makan, kemudian bergabung dengan orang-orang yang telah mengantre. Matanya menyelidik area sekitar, memastikan Amon dan kawanannya memilih meja yang jauh dari tempat pengambilan makanan. Bagus, tiada tanda keberadaan lelaki itu.

Tetapi, bukan berarti Nagita bisa tenang. "Tolong sembunyiin gue,ya, kalau Amon atau temen-temennya lewat," pintanya kepada Indah yang lagi-lagi tidak sempat menanyakan tujuannya.

"Oke." Indah menyanggupi permintaannya tepat saat sekelompok lelaki melewati antrean.

Iya, sekelompok lelaki baru berjalan melewati barisan pencari makan. Muka-muka familiar tampak dalam kelompok tersebut. Tole, Jauza, penggagas sesi ledek, dan mustahil Amon dikecualikan. Lelaki itu pasti sudah lewat atau mengekor mereka. Tidak. Amon belum lewat. Terbukti dari kelakuan Indah yang tiba-tiba meletakkan kardigannya di kepala Nagita, lalu merapikannya supaya menutupi sisi kanan-kiri wajah perempuan itu.

iya, kamu!Où les histoires vivent. Découvrez maintenant