chapter 17

11 1 0
                                    

"Mau ngomongin apaan, Mon—eh, anjir, jangan gebukin gue!"

Setan yang menguasai Amon mengendalikan sang pemilik tubuh sambil tertawa-tawa. Lihat saja, Amon yang biasanya menyapa Jauza dengan riang menghampiri sahabatnya dengan langkah keras. Wajahnya memerah bak tomat dan rahangnya mengeras. Kalau Amon ada dalam film bergenre fantasi, matanya mungkin sudah berubah warna menjadi merah menyala. Kemudian, apabila lelaki itu benar-benar mengabaikan peringatan Jauza, yang keluar dari mulutnya adalah segala macam kalimat umpatan. Tangannya yang mengepal pun pasti akan melayangkan bogem mentah kepada sang kawan.

"Sadar, woi!" Jauza tangkap pergelangan tangan Amon sebelum lelaki itu sentuh wajahnya. Ia menampar-nampar pipi Amon sambil mengutarakan rasa herannya, "Lo kesambet apaan sampai ngamuk begitu, Mon? Apa mesti gue yang ngeluarin setan dalam badan lo itu?"

"Diem—" Amon menurunkan tangannya. Dengan napas memburu, ia tumpahkan keresahannya. "Anjing, lah. Kenapa lo enggak bilang-bilang kalau dia bakal gerak pas doa bersama?"

"Kenapa jadi gue?" tanya Jauza. "Lo ora ngasih tau apa-apaan, ya."

"Awalnya, 'kan, emang dari lo." Amon mengistirahatkan tubuhnya di bangku yang memakan hampir dari setengah panjang dinding tongkrongan. "Mending marah-marah live daripada teriak-teriak di chat. Biar sekalian puasnya."

Jauza mendengus. "Seriusan, dia udah gerak dari Jumat lalu?"

"Dari Selasa, kali," ralat Amon. "Sering bener dia lewat pas gue ngobrol sama Agit. Baru Jumat kemarin berani ngajak Agit ngobrol. Kayaknya ngasih ID Line, semoga aja enggak beneran nge-chat."

"Gitu doang?"

"Emang lo pikir ceritanya bakal gimana lagi?" Nada bicara Amon meninggi. "Gitu, dah. Kayak ga tau aja gimana dia ke gue," tutupnya sambil melempar kerikil yang berserakan di bangku. Hitung-hitung meredakan kekesalannya terhadap Damian yang menganggapnya remeh ketika mereka bertemu di kantin Jumat lalu.

Sang kawan mengangguk-angguk paham setelah menyimak cerita Amon. "Masih aja itu anak main-mainin lo." Ia mengipasi diri dengan selembar kertas yang sudah dilipat-lipat. "Aneh juga, sih. Udah tau lo deketin, malah terang-terangan nikung. Dikira lo gampang dikerjain juga kali, ya, kayak yang udah-udah."

Amon masih membisu dan menujukan tatapan kosong ke depan ketika temannya melanjutkan, "Temen, sih, temen, tapi kelakuannya udah enggak bisa dimaklumin. Hobi, kok, ngegebet cewek orang. Pantes aja banyak yang pengin lo bangkit buat mimpin negeri ini lagi."

Orang yang seharusnya merespons komentar Jauza malah membaringkan tubuh, rebahan seakan-akan candaan yang biasa membuatnya geli sudah basi. Lelaki itu justru bertanya, "Kebalik, bukan?"

"Apaan? Lo yang nikung dia?" Jauza yang langsung mengerti maksud tanggapan Amon memukul sang kawan dengan kertasnya. "Benerin dulu itu mindset lo, baru komen siapa yang nikung siapa yang enggak."

"Gayaan bener ngomongnya mindset-mindset."

"Lo masih serius sama Agit, 'kan?" Topik pembicaraan mereka Jauza ubah. "Besok-besok coba omongin soal ini sama Agit. Mastiin aja dia ga meleng. Sekalian kasih paham biar ga ngeladenin kalau Damian nge-chat. Soal duit lo yang masih di dia, biar gue yang ngurus."

"Duit?" ulang Amon. "Duit yang mana?"

"Lah, lo lupa?"

∙ ∙ ∙

Sebagai pemeran, Nagita merasakan bahwa latihan drama kelas adalah cara tepat untuk menguras energi seseorang. Nagita yang bukan pemeran utama saja selalu merasa kelelahan sehabis latihan. Rasanya mau cepat-cepat mementaskan drama, padahal mereka baru latihan beberapa kali. Belum selesai pula masalah penjiwaan karakter yang para petinggi produksi bilang akan terpecahkan seiring berjalannya latihan. Masalah lainnya, seperti blocking dan rekaman, sudah menunggu mereka. Bukan tugas yang mudah untuk diselesaikan, apalagi ada pekan libur pada bulan April dan Mei.

iya, kamu!Donde viven las historias. Descúbrelo ahora