chapter 28

8 1 0
                                    

Saat murid-murid yang bersenang-senang selama karyawisata kembali ke sekolah dengan wajah berseri, Nagita nyaman dengan ekspresi datarnya. Ia menginjakkan kaki area sekolah layaknya buronan yang baru dibebaskan oleh aparat kepolisian. Wajahnya menunduk, mulutnya tertutup. Tudung jaket yang ia pakai melindungi rambut hitamnya dari paparan sinar matahari pagi. Bukannya menolak menyerap vitamin, Nagita hanya ingin dirinya luput dari atensi orang-orang. Terlebih lagi, ia sudah memberi arahan kepada teman-teman dekatnya untuk mendiamkannya. Ia berharap mereka mengabaikannya saat dirinya memasuki ruang, mendiamkannya selama istirahat, dan menghapus nama Amon dari segala jenis pembicaraan.

Sesuai arahan, sohib-sohibnya tetap asyik mengobrol saat Nagita memasuki kelas. Mereka bahkan membiarkan perempuan itu menurunkan kursinya dan benamkan kepalanya di meja. Dengan demikian, Nagita terlihat seperti orang yang pindahan hanya untuk tidur.

Di kamar maupun sekolah, matanya terpejam. Kali ini, kondisinya setengah sadar. Nagita yang dikira orang lain tidur ternyata mendengar berbagai macam interaksi antarteman. Termasuk yang mencari pinjaman topi, yang bisik-bisik bergosip dari arah belakang, dan Tanisha yang menarik kursi.

"Masih lemes?" Tanisha menyibak poni Nagita, lantas menempelkan tangannya di dahi perempuan itu. Sedang tangan kirinya ia pakai untuk mengecek suhu tubuh sendiri. "Mau dibantuin bolos upacara, ga? Badan lo rada panas soalnya."

Tanisha yang bicara, Indah yang terbayang. Tawaran bolos dari Tanisha terdengar seperti tawaran Indah untuk mencarikannya ojek atau orang yang bersedia antar ia pulang. Suasana kelas yang seramai pasar mengingatkannya pada sebuah sore dua bulan silam. Sore saat Amon—lupakan soal si lelaki, lebih baik ia melanjutkan tidur paginya.

Nagita hampir ketiduran saat suara langkah kaki yang mendekat membuat teman sebangkunya sewot. "Ngapain lihat-lihat?" Walau matanya terpejam, Nagita bisa membayangkan Tanisha melipat kedua tangannya di depan dada dan memelototi sang empu kaki. Mungkin akan menciptakan drama misal orang yang berhadapan dengannya adalah musuh.

"Ngecek doang." Bayangan Nagita akan drama pagi semakin jelas saat telinganya menangkap suara Fanny. Yang benar saja. Bisa-bisanya perempuan itu yang buat pagi hari Tanisha memburuk dari sekian banyak murid sekelas. "Bilangin ke temen lo, tuh, get well soon."

"Oh, jadi lo yang bikin temen gue nangis?"

"Bukan," jawab Fanny, masih setia dengan nada bicaranya yang tenang walaupun situasi menegang. "Tanya Amon coba. Bukannya terakhir di Malioboro jalan-jalan sama dia?"

"Dipikir gue ga tau, apa? Si Agit juga udah bilang, kali, kalau ini ada hubungannya sama itu bocah."

"Tapi dia belum cerita kenapanya, 'kan?" tebak Fanny. "Tanyain lagi, lah. Siapa tau temen lo habis ditolak gara-gara Amon lebih milih—"

"Milih cabe-cabean macam lo maksudnya?" Tanpa aba-aba, Tanisha meninggikan suaranya. Deru napasnya yang terdengar menyadarkan Nagita kalau ia harus siap bangkit. Apalagi sesudah Tanisha terang-terangan mengaku, "Ah, udah lama gue ga nonjok orang."

"Kalem, Tan!"

"Tan, udah, Tan!"

Namanya perempuan, hobinya ramai saat ada kerusuhan. Termasuk mereka yang langsung memegangi lengan Tanisha ketika perempuan itu meregangkan tangan. Nagita menolak ketinggalan. Masa bodoh kebutuhan primernya belum terpenuhi, menyelamatkan teman dari panggilan guru BK lebih penting. Seakan sudah tahu bagiannya, ia memegangi bahu Tanisha. Memijatnya pelan-pelan, barangkali bisa menurunkan kadar amarah dalam diri Tanisha.

Begitu jelas tatapan kebencian yang mereka tujukan pada satu sama lain sampai-sampai Tole yang baru masuk kelas ikut menenangkan, "Santai, Tan. Drama kelas masih bulan Juni. Lo sebagai sutradara please banget jaga kedamaian, ya. Jangan bikin perpecahan kayak begini." Lelaki yang bijaknya bikin seisi kelas melongo itu berjaga di samping kiri Tanisha. Siap-siap menangkap tangannya semisal Tanisha mampu membebaskannya dari belenggu teman-temannya.

iya, kamu!Where stories live. Discover now