chapter 12

10 1 0
                                    

Masalah itu ibarat gulungan benang. Semakin ditarik, akan semakin panjang yang terurai. Sama halnya dengan kehidupan. Semakin lama seseorang tinggal di dunia ini, akan semakin banyak masalah yang mereka hadapi. Kasusnya tidak selalu satu masalah hadir-satu masalah selesai. Kadang-kadang, masalah lain menyapa ketika mereka masih berusaha menyelesaikan masalah sebelumnya. Segera diselesaikan atau dibiarkan menumpuk, nasib masalah itu tergantung pribadi masing-masing.

Ribet, simpul Nagita yang menjadi penguasa saung merangkap tempat penitipan barang. Perempuan yang langsung merebahkan tubuhnya seusai latihan perdana drama kelas itu berkali-kali mengubah posisinya. Menghadap kanan, menghadap kiri, telentang, semuanya dicoba. Tiada yang cocok. Senyaman apa pun posisinya, pikiran Nagita tetap kacau balau.

Belum selesai masalah sebelumnya, Nagita dipilih sebagai pemeran seorang gadis desa dalam drama kelasnya. Bukan hal yang mengejutkan jika mengingat Tanisha pernah mengungkap rencananya menempatkan Nagita sebagai pemeran karakter tersebut. Bukan tantangan yang mudah ditaklukkan juga karena kehidupan mereka berbeda.

Maka, demi nilai seisi kelas, Nagita rela menolak ajakan teman-temannya mencari makan siang. Ia menetap di saung untuk istirahat, menjaga barang teman-teman, dan sekarang mempelajari perannya. Nagita membolak-balik naskah drama yang Tanisha berikan padanya. Ia baca keseluruhan naskah tersebut sebelum menandai bagiannya.

Sedang asyik-asyiknya mewarnai naskah drama dengan stabilo merah muda, Tole datang menduduki saung. "Ngapain, Git?" Lelaki itu merunduk, mengintip Nagita yang mengabaikan kehadirannya. "Bagiannya Ayu enggak banyak-banyak banget, 'kan? Masih banyakan bagian karakternya si Sonny."

Keberadaan Tole tidak bisa Nagita abaikan usai lelaki itu menyebut nama karakter yang ia perankan. "Iya. Dia, 'kan, pemeran utamanya."

"Modelan cowok kalem enggak banyak tingkah gitu, ya." Tole menyeruput minum dingin yang dibawanya. "Beda sama temennya yang kelakuannya rada ga waras."

Stabilo merah mudanya berhenti bergerak, padahal tugasnya tinggal memberikan tanda pada tiga halaman terakhir. Konsentrasi Nagita keburu pecah. Ia yang sejak ditinggal teman-temannya bisa fokus memahami isi drama jadi kepikiran lagi dua lelaki yang datang membawa masalah ke dalam hidupnya. Bayangannya tentang si gadis desa serta kehidupannya yang berliku berganti menjadi Amon, Seno, dan tingkah mereka yang patut dipertanyakan.

Pas sekali, hanya mereka berdua yang berteduh di saung. Jadi, Nagita anggurkan naskah dramanya dan bertanya, "Amon emang begitu, ya, orangnya?"

"Begitu soal gimananya dulu, nih? Main ngomong aja? Apa hobi deketin cewek?"

"Eh?" Nagita melongo, seketika lupa akan hal yang hendak ditanyakannya. "Amon beneran suka deketin cewek-cewek?"

Tole cekikikan. Andaikan ada Linda, lelaki itu pasti sudah jadi sasaran pukulannya. "Sori, Git, gue ngakak," ujarnya sebelum cekikikan lagi. Tuh, mendengar suaranya saja rasanya menyebalkan. Pantas Linda selalu ingin melayangkan pukulan setiap kali berinteraksi dengan Tole.

"Serius, ih."

"Sebentar." Entah Tole minum untuk meredakan tawanya atau minuman miliknya mengandung zat peredam tawa, lelaki itu langsung bisa menanggapi pertanyaan Nagita dengan serius. "Sekarang, mah, cuma lo."

"Kalau dulu berarti banyak, dong?"

"Enggak, lah. Amon ga se-playboy itu," sangkal Tole. "Emang banyak yang demen sama dia juga."

"Termasuk yang katanya anak kelasan kita?"

Tatapan yang Tole berikan mengundang kecurigaan. Gerak-geriknya mendukung kecurigaan tersebut. Gampang-gampangnya berkata ya atau tidak, mengangguk atau menggeleng, Tole memilih mengedarkan pandangannya ke sekitar. Menoleh ke sana ke mari. Mengesankan adanya mata-mata yang bersembunyi di belakang saung, padahal Nagita tahu hanya merekalah yang ada.

iya, kamu!Where stories live. Discover now