Sea menatap obat di tangannya, warnanya putih dan terlihat seperti obat biasa. Anak perempuan itu masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil air, ia meminum satu butir obat tersebut.

"Berhasil," kekeh Sean saat melihat Sea meminum obatnya.

Pemuda itu terlihat begitu senang, rencananya berjalan dengan mulus. Obat yang diminum Sea memang bukan obat alergi, karena anak perempuan itu tidak memiliki alergi apapun. Sean memberinya obat lain, obat yang akan membuat Sea tidak bisa kabur darinya.

*****

Siang harinya, Sea sedang bersantai di ruang keluar sambil memakan buah yang dibawa oleh Robert. Sean tidak keluar dari kamarnya, pemuda itu melanjutkan tidurnya setelah makan siang bersama sang adik. Kebetulan tadi Sea yang memasak, meskipun hanya nasi goreng.

Untuk obat yang diminumnya, tidak ada efek samping apapun dan Sea menutupi ruam di lehernya dengan foundation. Ia berharap ruamnya cepat menghilang, karena dirinya sangat malas menutupinya dengan foundation.

"Sea, putri cantik Mama!" suara Vanila mengejutkannya.

"Mama?"

Sea bingung kenapa Vanila dan Felix sudah pulang sekarang, tapi ia juga merasa lega saat melihat keduanya. Sea seperti melihat sosok pelindung yang bisa menghentikan perbuatan kejam sang kakak, dirinya tidak mau lagi memberi makan kucing—karena tadi pagi kepalanya hampir saja berada di dalam mulut kucing, saat ia sedang memberinya makan.

"Putri Mama baik-baik saja 'kan? Bang Sean tidak nakal atau membuatmu menangis?" tanya Vanila yang kini memeluk putri angkatnya.

Sea tidak tahu menjawab apa, kalau berbohong dirinya akan berdosa. Tetapi kalau Sea mengatakan kebenarannya, bisa saja Sean menaruh dendam kepadanya dan semakin memperlakukannya dengan kejam. Bisa saja nanti pemuda itu menyuruh kucing untuk memakan Sea hidup-hidup.

"Mama, sepertinya Sea tidak bisa bernafas. Kamu memeluknya begitu erat," kata Felix saat melihat wajah putrinya yang memerah.

"Astaga, Mama sangat merindukanmu. Jadi, Mama tidak sadar memelukmu begitu erat. Nanti kita ngobrol lagi ya? Mama mau istirahat dulu," ucap Vanila sambil mencium kedua pipi putrinya.

Felix menghampiri putri angkatnya, "Dimana Sean?"

"Bang Sean lagi tidur di kamarnya," jawab Sea.

"Kamu lanjut nontonnya, Papa mau ke atas dulu."

Felix bukan pergi ke kamarnya, pria itu akan menemui putranya untuk menanyakan sesuatu. Seharusnya Felix belum pulang hari ini, tetapi pria itu tidak bisa berlama-lama di luar negeri.

Ceklek...

"Ocean Prince Delwin!" panggilnya kepada Sean yang terlihat baru bangun.

"Kenapa pulang-pulang langsung marahin aku?" tanya pemuda itu dengan mata setengah mengantuknya.

"Kamu masih tanya kenapa Papa marah? Apa kamu lupa dengan perbuatanmu di sekolah?" marah Felix yang sudah lelah dengan tingkah putranya yang tidak ada habisnya.

"Itu bukan salahku," sahut Sean yang kembali memejamkan matanya.

"Ocean! Kau hampir membunuh temanmu dan bilang kalau ini bukan salahmu? Papa akan memberimu hukuman, sampai masa skorsmu selesai—kau akan ditinggal bersama Nenekmu!," ujar pria itu yang tidak bisa dibantah.

"Tapi aku melakukannya, karena dia menghina Sea. Apa aku salah melindungi Sea dari bajingan itu?" Sean turun dari tempat tidurnya, ia tidak mau tinggal disana dan jauh dari adiknya.

"Apapun alasannya, tindakanmu sangat salah. Kau hampir saja membunuh seseorang, Papa tetap menghukummu!" putus Felix.

"Dia menghina Sea dengan kata-kata yang tidak pantas, Papa juga melakukan hal yang sama kalau di posisiku," pemuda itu tetap membela diri, bagaimanapun ini bukan salahnya.

"Apapun alasanmu, kau tetap mendapatkan hukuman. Cepat bereskan bajumu, Papa sendiri yang mengantarmu ke sana!" kata Felix sebelum keluar dari kamar putranya.

Sean melempar semua barang yang ada di depannya, pemuda itu tidak sadar membuat luka di tangannya yang belum kering kembali terbuka. Sean tidak mau pergi ke rumah neneknya, karena tempat itu sangat jauh dari Sea. Ia tidak bisa kesini malam-malam hanya untuk menyusup ke dalam kamar sang adik untuk menciumnya atau memberi tanda di leher Sea.

"Sialan! Ini semua gara-gara bajingan itu! Mending lo mati aja, Brian!"

Sean ingin sekali membunuh Brian, tetapi itu cukup mustahil. Semua orang bisa langsung mencurigainya kalau sampai Brian mati dengan mudah, jadi Sean akan melakukannya dengan perlahan. Brian harus mati, karena sudah membuatnya berpisah dengan Sea selama lima hari.

"Seenggaknya gue masih bisa lihat wajah Sea dan isi ponselnya," Sean menatap layar ponselnya, ia sedang melihat adiknya yang hendak tidur siang.

Dengan adanya lensa kamera di mata boneka beruang, ia bisa melihat wajah adiknya selama Sea berada di dalam kamar dan dirinya juga bisa melihat siapa saja yang mengirim chat kepada Sea. Meskipun semua itu belum cukup, karena dirinya tidak bisa mencium Sea seperti kemarin dan tadi malam.

 Meskipun semua itu belum cukup, karena dirinya tidak bisa mencium Sea seperti kemarin dan tadi malam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TBC

Lanjut?

Spam sebanyak-banyaknya!

Kalau rame, kita lanjut ceritanya.

The Villain's Obsessed (End)Where stories live. Discover now