Epilog

8.7K 281 9
                                    

"Cowok kemarin itu siapa?"

"Cowok kemarin? Cowok yang nganterin aku waktu pulang dari supermarket itu?"

Patra mengangguk. "Siapa? Pacar kamu?"

Maiza tentu menggelengkan kepalanya. Sekalipun umurnya sudah menginjak 17 tahun, tapi tak pernah terpikirkan olehnya untuk menjalin hubungan pacaran.

"Bukan, dia bukan pacar aku."

"Bohong, kamu pasti bohong. Papa lihat ya kalian ketawa-ketawa sepanjang jalan. Mana jalannya deketan lagi. Jangan terlalu deket, umur kamu masih kecil."

"Dia temen kelasku. Kita ketawa-ketawa waktu ngomongin kejadian lucu di kelas aja."

Patra menatap putrinya dengan wajah tanpa ekspresi. Patra tak siap jika putrinya yang beranjak remaja ini menjalin hubungan dengan seorang pria. Dimatanya Maiza masih putri kecilnya yang merengek ingin ke Dufan dan tidur bersama.

"Ayolah, Pa. Jangan kayak gitu. Aku jujur lho ini. Kalau enggak percaya tanya aja Teteh. Mana ada aku pacaran. Aku udah pusing mikirin ujian masuk universitas. Aku bakalan buktiin bisa jadi kayak mama. Enggak ada waktu buat pacaran," ucap Maiza berusaha meyakinkan sang papa.

"Ada apa ini?" tanya Syafa yang baru saja muncul di tengah perselisihan papa dan anak perempuannya itu.

"Papa tuh, Ma. Masa katanya aku punya pacar. Perkara aku jalan bareng sama Gilang. Dia temen kelasku kan, Ma? Ayo dong Ma bela aku. Papa nih enggak percaya sama aku," jawab Maiza lebih dulu menjelaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Syafa melirik suaminya yang masih setia dengan wajah datarnya itu. "Gilang anak baik kok, Pa. Pinter lagi. Kalau emang Maiza sama Gilang, Mama setuju."

"Apa deh, Ma! Mana boleh anakku pacaran! Enggak ada ya pacaran pacaran. Awas aja!"

Syafa tersenyum, senang rasanya berhasil menjahili suaminya. "Posesif banget sih, Pa. Lagian anak-anak udah gede."

"Enggak ada, Ma. Enggak ada kata udah gede. Zaman sekarang nih makin ngeri. Udah beda sama zaman kita dulu."

"Terus menurut kamu dengan sikap kamu begitu tuh jalan yang benar? Anak-anak malah ngerasa dikekang dan enggak nyaman nantinya. Jangan gitu, Pa. Lagian aku percaya anak aku."

"Nah benar, Ma. Aku dukung Mama pokoknya," ucap Maiza yang sedari tadi hanya diam menyimak saja.

Patra menghela nafas sebelum akhirnya berlalu begitu saja. Melihat kelakuan suaminya, Syafa hanya bisa menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya fokus menatap anak keduanya itu.

"Kamu suka sama Gilang?"

"Enggak, aku sama dia beneran cuman teman. Teman kelas malahan. Dia emang nganterin aku ke rumah karena dia takut aku kenapa-kenapa. Waktu kemarin kan hampir magrib pulang. Aku enggak bawa hp jadi enggak bisa telpon papa kayak biasanya."

Syafa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang dia paham, Patra bersikap begitu karena mungkin merasa bahwa posisinya akan tergantikan oleh pria lain di hidup putrinya.

"Tapi kamu ada suka sama cowok enggak?" tanya Syafa dengan senyum jahilnya.

"Ihh Mama, enggak. Enggak ada."

Syafa tertawa melihat eskpresi putrinya. "Yaudah sana gabung sama teteh dan adikmu di belakang. Mereka lagi bakar-bakar."

"Hah? Ih masa bakar-bakar enggak ajak aku."

"Nah ini gunanya Mama ke sini. Mau ajak kamu itu. Malah jadi penengah dulu."

Maiza nyengir kuda. "Maaf, Ma. Kalau gitu aku pamit ke teteh dan adik dulu. Dah."

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Where stories live. Discover now