20. Terima Kasih Malang

6.9K 300 0
                                    


“Kunci dari semuanya hanya sabar dan bersama Malang aku menyadarinya.”

🍀🍀🍀

Pukul empat dini hari, Syafa sudah sibuk di dapur. Ibu dua anak itu tengah menyiapkan makanan untuk sarapan nanti juga makanan yang akan ia berikan pada Patra. Syafa akan memasak makanan kesukaan mantan suaminya itu sebagai bentuk rasa terimakasihnya pada Patra karena telah memenuhi keinginannya untuk datang ke Malang.

"Kenapa enggak bangunin Bi Diah, Neng? Ini masih jam empat."

Syafa tersenyum menanggapi ucapan wanita yang telah ia anggap seperti ibu sendiri itu. "Bi Diah enggak usah khawatir. Cuman masak dikit kok. Lagian nanti aku dua shift, Bi. Aku pulang pagi besok. Tolong jaga anak-anak, ya, Bi."

Bi Diah mengangguk. "A Patra jadi pulang hari ini?"

"Jadi, Bi. Pesawatnya jam sembilan. Tiket kemarin udah pada abis semua."

"Ya sudah, kita doakan mamanya a Patra enggak kenapa-kenapa. Lagian Bi Diah percaya mamanya a Patra kuat. Pasti beliau bisa ketemu cucunya."

"Aamiin. Makasih doanya, Bi."

"Sama-sama, Neng. Bibi bantu, ya."

"Iya, Bi. Boleh."

Acara masak memasak pun berlanjut dengan bantuan Bi Diah sampai akhirnya adzan subuh berkumandang. Patra keluar dari kamar, pria itu sudah siap dengan sarung, baju koko, dan peci hitam yang menjadi pelengkap penampilannya.

Semalam tidurnya tidak begitu nyenyak namun ia berhasil tidur meskipun hanya beberapa jam saja. Setidaknya dia sudah istirahat.

Rasanya tidak siap jika harus meninggalkan rumah ini, Patra masih ingin berlama-lama di rumah minimalis ini. Patra masih ingin bersama dengan anaknya. Namun, keadaan seakan tak merestui keinginannya.

"A Patra mau ke masjid?" tanya Bi Diah yang tak sengaja melihat Patra di depan kamar Syafa.

"Iya, Bi."

"Yasudah sana, hati-hati, ya. Kalau bisa bawain gorengan yang di samping masjid boleh? Kesukaan neng Syafa itu."

"Syafa masih suka goreng pisang?"

Bi Diah mengangguk. "Masih."

"Yaudah, Patra pamit ya, Bi. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, ya."

***

Selepas shalat subuh, Syafa sibuk membantu kedua anaknya menyiapkan keperluan sekolahnya. Syafa harus berangkat jam enam pagi menuju rumah sakit. Sudah cukup cuti dadakan yang ia terima kemarin. Saatnya kembali pada kenyataannya.

"Mama pulang pagi besok, ya. Kalian harus nurut sama Bi Diah dan papa."

Maira dan Maiza kompak mengangguk. Keduanya nampak sudah biasa ditinggal kerja oleh mamanya. Sejak kecil, mereka memang sudah merasakan hal itu.

"Mama pasti datang ke acara besok, kan?" tanya Maira.

"Tentu, Mama pasti datang."

"Kita udah siapin nyanyian buat papa, Ma," ucap Maiza.

"Oh ya?" balas Syafa.

"Iya, Ma. Nanti Teteh sama Adek tampil bareng. Pokoknya kita bakalan nyanyi buat papa pakai baju kemarin yang kita beli."

Syafa tersenyum sembari mengucapkan kata maaf dalam hatinya. Sungguh, Syafa bimbang harus berbuat apa sekarang. Haruskah jujur sekarang? Tidak, Syafa rasa belum saatnya.

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Where stories live. Discover now