5. Aku Juga Punya Papa

7.1K 368 0
                                    


Terkadang takdir memang setidak adil itu jika dilihat dengan mata telanjang.

🍀🍀🍀

Hari ini, Syafa berkesempatan untuk mengantar si kembar ke sekolah. Bermodalkan motor matic kesayangannya, Syafa membonceng kedua anaknya. Maiza di depan dan Maira di belakangnya. Si kembar tampak antusias karena akhirnya bisa diantar oleh sang mama.

"Nanti setiap hari kalau enggak mama yang antar jemput kalian diantar jemput sama neni pakai motor ini, mau?" tanya Syafa di tengah perjalanan mereka. Pasalnya Syafa berencana akan mencari mobil hari ini maka persetujuan anak-anaknya adalah hal penting. 

"Mau, Ma. Nanti kita enggak usah jalan kaki lagi," jawab Maira lebih dulu.

"Tapi enggak bisa jajan di depan komplek dong, Teh. Padahal di sana telur gulungnya enak," tambah Maiza yang nampak sedikit kecewa.

"Kan bisa berhenti dulu. Iya, kan, Ma?"

Syafa mengangguk sembari tersenyum mendengar perdebatan kedua anaknya. "Iya, Teh. Nanti kalau Adek mau jajan tinggal bilang neni aja. Nanti neni pasti berhenti kok."

Maiza menganggukkan kepalanya. "Oke deh."

Akhirnya mereka sampai di depan sekolah si kembar. Maira dan Maiza lantas turun dari motor. Sudah banyak anak-anak lain yang berdatangan ke sekolah.

"Mama antar ke dalam ya, Nak. Sebentar," ujar Syafa sebelum akhirnya mengunci motor dan turun dari motor.

Lalu, ketiganya jalan beriringan dengan bergandengan tangan. Syafa senang bisa mengantar si kembar sekolah. Ingin rasanya dia merasakan hal ini setiap hari.

Syafa mengantarkan kedua anaknya sampai ke bangku. Syafa tersenyum sebagai sapaan pada orangtua teman sekelas si kembar.

"Bu dokter apa kabar nih? Sudah lama tidak bertemu," tanya salah satu diantaranya.

"Baik, Bu. Sebenernya kemarin-kemarin ngantar juga, tapi enggak bisa sampai dalam soalnya dikejar waktu juga buat ke rumah sakit," jawab Syafa seadanya.

"Sibuk, ya, Bu?" Syafa mengangguk membenarkan hal itu.

"Enggak papa, Bu Dokter. Si kembar baik kok anaknya. Enggak nakal sama sekali. Nanti kalau ada apa-apa kita yang kabarin."

Syafa mengangguk sopan tak lupa disertai senyuman. "Makasih, ya, Bu."

"Sama-sama, Bu Dokter. Pokoknya jangan sungkan sama kita-kita, ya."

"Betul tuh, Bu Dokter."

Syafa iri. Jujur Syafa ingin seperti mereka, bisa menjadi ibu seutuhnya untuk anak-anaknya. Namun, nyatanya Syafa tidak bisa. Ada nafkah yang perlu ia cari, inilah konsekuen dari jalan yang ia pilih. Andaikan dirinya memberitahu mantan suaminya mengenai si kembar, Syafa yakin pria itu dengan senang hati memberinya uang untuk nafkah kedua anaknya, dan Syafa tidak harus terlalu banting tulang.

***

"Dio, aku juga punya papa."

Dio yang mulanya sibuk berbincang dengan Sofi pun lantas menoleh ke arah Maira yang baru saja bersuara. "Mana?" tanya Dio.

"Ini," ujar Maira sembari menunjukkan foto yang ia temukan kemarin bersama adiknya.

Dio dan Sofi memandang foto itu dengan seksama. Bahkan alis keduanya mengerut sangking seriusnya.

"Tapi kok enggak ada kamu sama Maiza?" tanya Sofi.

Maira mengangguk. "Ini kan waktu mama papa nikah. Aku sama adek belum ada."

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Where stories live. Discover now