28. Kedatangan Kavian, Anggika, dan Saskara

6.2K 278 2
                                    


“Kini, tak akan ada lagi rahasia diantara kita.”

🍀🍀🍀

"Kenapa Papa sama mama enggak tinggal bareng kayak mama papanya Sofi?"

Diam, hanya diam yang bisa Patra lakukan saat itu. Pertanyaan singkat dari putrinya tak mampu ia jawab. Rasa gagal menjadi seorang ayah pun kembali menyeruak dalam dirinya.

"Kata Sofi, kalau udah jadi papa mama harus tinggal bareng. Sama kayak om Shaka dan tante Airin. Papa sama mama marahan, ya? Atau karena kita nakal, ya?" ujar Maira yang melengkapi pertanyaan adiknya.

Patra tersenyum kemudian ia ulurkan tangannya untuk mengusap kepala putrinya dengan lembut. "Maafin Papa, ya. Maaf kalau Papa baru bisa tinggal bareng kalian."

"Selama ini Papa marah sama kita?"

Patra tentu menggelengkan kepalanya. Jangankan untuk marah, ia tahu kelahiran kedua putrinya saja tidak. Apakah masih pantas ia disebut ayah?

"Terus kenapa Papa baru pulang? Jakarta seindah itu, ya, Pa? Sofi aja suka di Jakarta."

Enggak, Jakarta enggak indah. Bahkan di sana Papa harus melawan luka terbesar yang pernah Papa rasakan. Belum lagi kehilangan sosok ayah disaat Papa masih belum sembuh. 

"Jakarta emang indah, tapi di sini lebih indah soalnya sama kalian." Akhirnya, Patra menjawab.

"Papa sayang kita?"

"Tentu."

"Sayang mama?"

Ada jeda, bukan karena ingin mengatakan ‘tidak’. Namun, masih pantaskah ia menjawabnya dengan jujur? Masih pantaskah ia mengatakan perasaannya untuk orang yang pernah ia beri luka?

"Papa enggak sayang mama, ya?" Maira kembali bertanya, wajahnya nampak murung. "Padahal kita sayang mama. Mama hebat, Pa. Mama selalu kerja cari uang buat kita. Mama ajarin kita banyak hal selama Papa enggak pulang."

Patra kembali tersenyum. "Papa sayang mama. Sayang sekali. Dari dulu, sekarang dan nanti."

"Yey! Papa sayang mama!" Sorakan itu bukan hanya dari Maira saja namun juga Maiza ikut bersorak gembira. Mereka merasa kedua orangtuanya sudah seperti orangtua yang lain. Tak peduli kemarin yang penting saat ini, papa dan mamanya ada bersama mereka.

***

Getaran ponsel di nakas samping tempat tidur mampu mengusik tidur sang pemilik yang masih nyaman dengan balutan selimut tebalnya. Suasana pagi yang selalu terasa dingin mampu membuat siapa saja enggan untuk beralih dari kasur empuk dan selimut tebal. Namun, dengan terpaksa Syafa harus membuka matanya dan melihat siapa gerangan yang menganggu tidurnya dengan menelponnya pagi-pagi seperti ini.

"Siapa, ya?" tanya Syafa tanpa melihat siapa gerangan nama nomor yang menghubunginya karena matanya masih setengah terbuka.

"Udah bangun?"

"Kak Patra," ujar Syafa yang kemudian detik itu pula ia membuka matanya dengan sempurna.

"Iya, Sya. Maaf ganggu waktunya, ini udah jam enam. Kata bi Diah, kamu susah dibangunin tadi subuh. Shalat sana."

"Ya ampun, aku semalam bergadang. Ada jurnal yang harus aku cari dan baca soalnya."

Terdengar helaan nafas yang berasal dari Patra. "Kebiasaan. Kamu sudah pulang tuh istirahat."

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Where stories live. Discover now