32. Bandung & Kejutan

4.9K 259 2
                                    


“Saat aku mengira semua sudah terkuak, saat itu pula fakta lain menghampiriku.”

🍀🍀🍀

Bandung.

Syafa telah sampai di kota itu, rumahnya. Syafa tersenyum melihat sekelilingnya. Sangat familiar sekalipun beberapa ada yang berubah. Jajaran rumah yang dulunya selalu menemani hari-hari Syafa sebelum akhirnya ia memilih pergi ke malang. Hari ini, Syafa kembali merasakan semuanya.

"Teh, si kembar aku sama A Patra aja yang gendong."

Suara Saskara memecah lamunan Syafa. Syafa lantas melihat ke depannya, kini dia sudah sampai di rumah milik kedua orangtuanya. Rumah yang menjadi saksi hidupnya sejak ia kecil hingga akhirnya menikah.

"YAH, ANAK-ANAK UDAH SAMPAI, YAH."

Suara Buna. Syafa tersenyum mendengar suara itu. Suara yang dulunya selalu membangunkannya setiap pagi untuk segera sholat subuh. Suara yang selalu menenangkannya kala dirinya merasa gagal. Suara yang tentunya sangat Syafa rindukan.

"Teh, aku duluan." Kesal tak digubris, Saskara lantas menggendong Maiza kemudian keluar lebih dulu.

Patra menoleh ke belakang, tepatnya pada Syafa. "Turun, yuk, Sya."

Syafa mengangguk. "Aku masih enggak sangka aja, aku pulang lagi. Aku kangen rumah ini."

"Aku tahu. Mata kamu enggak bisa bohong," balas Patra.

Syafa tersenyum tipis sebelum akhirnya pandangannya beralih ke rumah yang berada tepat di depan rumah kedua orangtuanya.

"Kangen juga sama rumah itu?" Patra spontan bertanya. "Sya, maaf. Aku enggak bermaksud."

"Enggak papa," balas Syafa. "Aku yang gendong Maira, Kak?" Syafa sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

"Aku aja, Sya."

Setelah itu, keduanya lantas turun dari mobil. Patra lebih dulu menghampiri putri sulungnya sebelum akhirnya menyusul Syafa yang sudah masuk ke rumah.

"Teh, Buna kangen." Kalimat pertama yang Anggika ucapkan pada putri satu-satunya itu. Anggika lantas memeluk Syafa. Rindu dan senang karena pada akhirnya Syafa memilih untuk pulang.

"Teteh juga kangen Buna," balas Syafa diiringi balasan pelukan yang sangat erat.

"Jangan pergi lagi, Teh. Apapun masalahnya kita hadapi sama-sama."

Itu kalimat sang ayah, Kavian. Syafa yang masih dalam pelukan bunanya itu mengangguk sembari melempar senyum manisnya pada sang ayah. Syafa berjanji, apapun masalahnya nanti, ia tidak akan kembali memilih untuk pergi. Pergi dari rumah ini, rumahnya.

***

"Ini kamar dibikin khusus buat anak-anak aku, Bun?"

Anggika mengangguk. Kamar bernuansa pink ini memang kamar yang ia buat khusus untuk kedua cucunya. "Mereka suka enggak ya, Teh? Buna bingung tahu warnanya apa, tapi kata yayah pink aja biar sama kayak kamar mereka dulu."

"Bun, ini kamar baru, kan? Meskipun aku delapan tahun di Malang, tapi aku tahu kok ini kamar baru." Alih-alih menjawab pertanyaan sang Buna, Syafa justru mengatakan hal itu.

"Ya emangnya kenapa? Salah ya Buna sama yayah mau bikin bahagia cucu? Lagian dibantuin sama Saskara dan Shaka. Kita cuman bangun kamar doang, Teh. Pernak-perniknya kan punyanya mereka dari Malang."

Syafa tersenyum tipis. "Maafin aku, ya, Bun. Bukannya enggak senang, tapi aku ngerasa merepotkan."

"Udah, jangan ngerasa kayak gitu. Istirahat aja sana. Suruh Patra istirahat juga. Kasihan kalian perjalanan jauh."

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Where stories live. Discover now