42. Drama Keluarga

4.4K 231 2
                                    


“Sejatinya perdebatan adalah hal yang mustahil terhindarkan dari sebuah keluarga.”

🍀🍀🍀

Setelah menyelesaikan urusan di KUA, Patra mengajak Syafa, anaknya dan Anggika ke proyek yang sedang ia garap. Patra akan mengecek kinerja anak buahnya di sana. Sebenernya Patra tak merekomendasikan hal ini karena pasti mereka akan kepanasan, namun Syafa, si kembar dan Anggika justru sangat antusias.

"Pa, nanti aku kalau sudah besar mau kerja kayak Papa. Aku suka bangun rumah apalagi gambarnya," ujar Maira dengan mata berbinarnya. Maira tak menyangka jika pekerjaan Papanya sama seperti yang pernah ia lihat di YouTube. Sangat keren.

"Maira yakin?" Maira mengangguk. "Kalau memang begitu Papa dukung. Jangan lupa rajin belajar, ya."

"Siap, Pa." Maira mengacungkan jempolnya.

"Udah ada penerus, A. Tinggal dilatih saja," ujar Anggika.

"Iya, Bun. Patra yakin Maira bisa."

"Maiza juga bakalan jadi dokter kayak Mama, Nek. Maiza bakalan periksa orang sakit terus ngasih obat biar sembuh." Sang adik, Maiza tak mau kalah dengan kakaknya.

Anggika tersenyum lalu mengusap kepala cucunya. "Kenapa enggak jadi perawat aja kayak Nenek?"

"Mau kayak Mama aja. Perawat enggak pakai jas putih, Maiza maunya pakai jas putih kayak Mama."

Anggika terkekeh begitupun yang lainnya. Jawaban polos anak usia tujuh tahun itu memang apa adanya.

"Kayaknya nanti Buna duluan, ya. Antar Buna ke restoran aja, kalian berempat aja belanjanya."

"Lho, kenapa?"

"Ada kepentingan di restoran, Teh. Buna yang handle. Kamu urus keperluan si kembar aja."

Alasan Anggika ikut selain diperintahkan Kavian supaya Syafa dan Patra tak hanya berdua, Anggika pun ingin menemani cucunya membeli keperluan sekolah. Libur sekolah tinggal sisa beberapa hari lagi. Namun, Anggika baru sadar jika dirinya ada urusan lain di restoran. Anggika sudah janji pada karyawannya.

"Bun, nanti aku dimarahin yayah karena berdua doang."

Anggika menggelengkan kepala. "Enggak akan, kalian bareng anak-anak. Jadi berempat. Nanti Buna jelasin sama yayah, Teh. Tenang aja."

Baiklah, jika sudah seperti itu maka Syafa tak bisa menolak keinginan bunanya.

"Papa, aku haus. Mau minum," rengek Maira sembari menarik-narik ujung kemeja milik papanya, Patra.

"Yaudah, kita langsung aja ke restoran nanti kalian langsung belanja keperluan si kembar."

Syafa setuju, begitupun Patra. Mereka akhirnya meninggalkan tempat proyek yang sedang digarap Patra.

***

"Pa, kata om Saska uang Papa banyak. Aku boleh beli banyak enggak?"

Syafa menghela napasnya. Ajaran apa yang telah Saskara berikan pada anaknya. Lihat saja, Syafa tak akan tinggal diam.

Sedangkan Patra justru terkekeh dibuatnya. "Memangnya kamu mau apa aja?" tanyanya.

"Tas, baju, sepatu, pensil warna, buku gambar, pensil, buku, kaos kaki, penghapus, serutan, tempat pensil. Semuanya. Aku mau semuanya, Pa."

Syafa lantas mendekat pada putri sulungnya. "Ambil yang perlu aja ya, Teh. Jangan kalap. Enggak baik. Ajarin adeknya yang baik-baik, ya."

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu