34. Mama dan Papa Cerai, Ya?

5.1K 253 5
                                    


“Nyatanya senyum adalah cara terbaik untuk menutupi luka.”

🍀🍀🍀

Kak Patra
Anak-anak boleh aku ajak main di rumah enggak, Sya?

Dua puluh menit Syafa tak menggubris pesan yang Patra kirim. Dia masih kesal dengan pria itu. Bagaimana bisa Patra mengambil keputusan sebesar ini tanpa melibatkannya?

Syafa sibuk? Ya, Syafa akui. Satu tahun pernikahannya dengan Patra, Syafa sibuk mengejar karir. Dia sudah diizinkan oleh Patra. Lagipula itu adalah salah satu syarat yang Syafa minta saat Patra ingin menikahinya. Syafa tak peduli orang mau berkata apa, tapi dia hanya ingin memanfaatkan ilmu yang ia dapat selama kuliah. Caranya? Dengan bekerja tentunya.

"Ada Patra di luar."

Suara sang Buna, Anggika membuyarkan lamunan Syafa. Ibu dua anak itu menghela napasnya. Patra yang pantang menyerah, begitu kata Syafa dalam hatinya.

"Temuin sana. Berantem mulu kayak anak kecil. Udah kepala tiga kalian tuh bukan bocah SD lagi."

Syafa mengerucutkan bibirnya. "Buna, enggak gitu juga."

Anggika terkekeh. "Makanya sana temuin. Masalah tuh diselesaikan. Omongin baik-baik. Sekalian juga Buna mau pamit, mau ke restoran bentar. Jagain cucu Buna, ya."

"Aku ikut Buna aja, ya?" rayu Syafa sembari mengedip-ngedipkan matanya. Anggika terkekeh geli melihatnya. Lihat siapa yang kemarin mengejek Saskara sebagai si bungsu padahal nyatanya Syafa lebih terlihat bungsu dengan tingkah manjanya pada Anggika.

"No, Teh!" Anggika menolaknya. "Selesaikan semuanya. Jangan diem-dieman terus. Kasihan juga Patra mau ketemu anak-anak. Egonya diturunin, ya. Pasti bisa. Buna selalu yakin sama Teteh."

Syafa akhirnya menyerah. Ayahnya benar, bujuk rayu bunanya memang mematikan.

Pada akhirnya, Syafa duduk di samping Patra di teras rumah. Pandangannya menatap lurus ke depan, tidak menghadap ke Patra sama sekali.

"Masih marah?"

Ya kamu pikir aja sendiri! Itu kata hatinya. Namun, Syafa menjawab lain melalui mulutnya. "Enggak."

Definisi lain di hati, lain di mulut memang.

Patra terkekeh kecil. Syafa berbohong. Ayolah terlalu mudah menebak isi pikiran Syafa baginya. Tumbuh bersama membuat Patra memahami gerak-gerik Syafa.

"Kalau soal rumah, kamu berhak atas itu. Lagipula almarhum papa pernah bilang, berikan seluruhnya yang kamu bisa untuk istri kamu, kelak Allah balas dengan yang lebih. Beliau juga bilang, hartaku itu harta istri dan anakku."

"Ya, aku tahu." Akhirnya, Syafa buka suara. "Tapi, aku ngerasa enggak pantas. Aku bahkan ninggalin Kak Patra gitu aja. Istri yang mendiang papa Kak Patra bilang itu, istri yang sempurna. Istri yang mau bertahan selamanya di samping suaminya."

Patra menggeleng tak setuju. "Enggak usah selamanya, Sya. Banyak di luar sana yang selamanya di samping suaminya, tapi nyatanya cuman pura-pura bertahan, mereka main di belakang atau bahkan mereka bertahan cuman demi bisa hidup berkecukupan. Mereka enggak tulus, tapi kamu tulus."

Patra menjeda kalimatnya, dia berusaha mengatur emosinya. Dia takut mengeluarkan kata yang menyakiti Syafa nantinya. "Sya, apapun yang kamu pikirkan. Aku enggak akan merubah keputusanku tentang rumah. Lagipula kita udah punya Maira dan Maiza. Anggap rumah itu sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai seorang ayah."

"Aku panggil anak-anak dulu," ujar Syafa menghiraukan pembahasan mengenai kepemilikan rumah. Patra hanya bisa mengulas senyuman terbaiknya. Patra paham Syafa hanya butuh waktu. Itu saja.

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Where stories live. Discover now