37. Pap Untuk Papa

4.5K 209 1
                                    

“Saat kau ingin kembali bersama, jangan sesekali anak dijadikan alasan. Karena dirimu pun berhak bahagia.”

🍀🍀🍀

"Widih, rame nih. Biasanya tiga, sekarang nambah tiga. Suka nih aku." Saskara tersenyum lebar melihat kakaknya, keponakannya dan kedua orangtuanya sudah siap di meja makan. Jangan lupakan beragam makanan yang sangat menggiurkan.

"Om Saskara lama," keluh Maira yang sedari tadi memang menunggu Saskara.

Saskara mengacak pelan rambut keponakannya itu. "Maafin ya, Sayang. Janji nanti enggak lama lagi."

"Yasudah, ayo makan. Saska pimpin doanya!"

Instruksi dari sang kepala keluarga yang tak lain Kavian langsung disanggupi Saskara. Lagipula siapa yang berani menolak permintaannya ayahnya itu. Saskara bukan takut, namun ia menghormati sang ayah. Kavian adalah role model ia dalam berumah tangga, nantinya.

"A Fathan enggak ke sini lagi?" tanya Maiza di sela-sela sarapan keluarga kecil itu.

"Kayaknya enggak, Dek." Sang nenek, Anggika menjawabnya.

"A Shaka sama teh Fanny kan kerja. Biasanya Fathan dititip dimana, Bun?" Kini, Syafa yang bertanya.

"Day care atau rumah orangtua Fanny. Kalau ke sini nanti muter lagi."

"Kenapa enggak nyewa pengasuh aja?"

"Fanny enggak mau anaknya diurus sama orang lain. Lagian dia juga kan kerjanya cuman sampai jam tiga aja."

Syafa mengangguk-anggukkan kepalanya. Benar juga. Fanny kan guru SMP, jam pulangnya tentu lebih stabil dibanding kakaknya yang kerja kantoran.

Selang sepuluh menit kemudian, sarapan keluarga kecil itu selesai. Saskara dan Kavian pergi bekerja ke kantor masing-masing. Menyisakan Syafa, Anggika dan si kembar.

"Ma, aku sama Teteh main di kamar, ya. Mau unboxing boneka dari papa. Boleh?"

Syafa mengangguk. "Boleh, Sayang. Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa kasih tahu. Jangan berebut."

"Siap, Mama!" Keduanya kompak sikap hormat sebelum akhirnya berlari menuju kamar mereka.

Kini, hanya ada Syafa dan Anggika. Sudah saatnya Syafa meminta pendapat sang buna. Syafa sudah memutuskan sekalipun dia meminta waktu dua hari, tetapi kejadian semalam cukup menamparnya.

"Kamu mau ngomong apa?"

Syafa menoleh cepat ke arah Anggika. "Kok Buna tahu aku mau ngomong sih?"

"Kamu tuh anakku, Teh. Dari kecil Buna yang urus kamu. Matamu enggak bisa bohong."

Curang. Semua saja mengatakan yang sama. Waktu itu Patra, lalu sekarang Anggika.

"Mata kamu itu mata terindah yang pernah Buna lihat. Dulu, waktu kamu lahir Buna takjub sama mata kamu. Buna heran darimana asalnya. Enggak turun dari Buna maupun yayah, tapi enggak papa. Buna suka."

Kavian memang mewarisi hampir delapan puluh persen fisik yang dimiliki Syafa. Namun, matanya tidak. Mata indah dengan bola mata coklat lengkap dengan bulu mata lentiknya.

"Tapi, aku lebih suka Buna. Apapun yang ada di Buna, aku suka," ucap Syafa sembari menyenderkan tubuhnya di bahu Anggika.

"Bun."

"Apa?"

"Maaf, ya. Maaf kalau pernikahan aku gagal. Padahal dari dulu aku yang paling excited bilang kalau kelak pernikahanku akan kayak Buna dan yayah, tapi nyatanya justru aku gagal. Aku gagal jadi istri dan menantu di keluarga kak Patra."

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Où les histoires vivent. Découvrez maintenant