10. F (Maaf, Kak)

7.4K 331 1
                                    

Menikah dengan orang yang tulus mencintai kita memang akan membuat kita bahagia namun akan lebih baik jika keluarganya pun tulus menerima kita apa adanya.

🍀🍀🍀

Bandung, 9 tahun yang lalu.

"Aku bukan lelaki sempurna, tapi aku akan berusaha memberikan yang terbaik semampuku. Sya, apa jawaban kamu?"

"Kasih aku waktu, dua hari." Begitu jawab Syafa setelah sempat terdiam beberapa saat.

Sesuai janjinya, Patra kembali setelah dua hari. Kini, ada kedua orangtuanya yang ikut mendampingi.

Perihal restu, orang tua Patra memang tidak luluh seratus persen namun mereka mengizinkan Patra menikah dengan pilihannya asalkan mau meneruskan perusahan keluarga dan tinggal di Bandung bersama kedua orangtuanya. Rumahnya pisah, namun tetap sama di Bandung.

Kedua kakaknya sudah pindah ke Jakarta. Kakak pertama, Dirga memilih meneruskan perusahan mereka yang ada di Jakarta. Sedangkan kakak kedua, Elisya memilih Jakarta karena ikut suaminya. Jadi, hanya Patra harapan kedua orangtuanya.

Sebenarnya Patra tidak yakin jika Syafa akan menerimanya namun nyatanya dia salah. Syafa menerimanya. Bahkan gadis itu setuju untuk menikah tiga bulan lagi.

Tiga bulan setelah lamaran itu, pernikahan keduanya berlangsung. Cukup mewah namun tak semewah kedua kakak Patra. Bukan Patra tak mampu namun itu syarat yang Syafa berikan. Dia tak ingin terlalu mewah asalkan ada keluarga besarnya saja.

Patra setuju karena baginya yang terpenting bukan mewah tidaknya, melainkan dengan Syafa atau bukan dirinya menikah.

Jika mengingat hari pernikahannya, Patra akan selalu mengingat hal ini sepanjang waktunya.

"Sya, aku boleh masuk?" tanya Patra sembari mengetuk pintu. Resepsi keduanya usai tepat pukul sepuluh malam. Kakinya cukup pegal karena berdiri bersalaman dengan banyak orang. Dan sinilah dirinya sekarang, di depan kamar dirinya yang kini juga menjadi kamar istrinya, Syafa.

"Bentar, Kak. Aku pakai kerudung dulu," jawab Syafa sedikit berteriak.

"Lho, aku suamimu lho, Sya. Aku buka, ya."

Patra tak mengindahkan ucapan Syafa, dan saat dirinya membuka pintu ternyata benar gadis itu sedang tidak memakai jilbabnya. Patra tertegun melihatnya, rambut hitam panjang yang indah, persis seperti rambut Syafa kecil yang berkeliaran dengan kuncir dua.

"Kak ih," rengek Syafa tak terima.

Patra tersenyum. "Kamu cantik."

"Jangan gitu, aku malu tahu," ucap Syafa dengan wajah yang mulai memerah karena salah tingkah.

"Sya, boleh enggak aku peluk kamu?" Seakan tak membiarkan Syafa untuk bernapas lega saat itu juga Patra melontarkan keinginan terpendamnya sejak dirinya mengenal Syafa. Patra segan untuk sekedar menggandeng tangan Syafa apalagi memeluknya sekalipun saat itu mereka berstatus pacaran.

"Boleh, ya?" pintanya lagi yang akhirnya di jawab anggukan oleh sang istri.

Detik berikutnya, Patra dapat merasakan pelukan Syafa. Pelukan yang selama ini dia inginkan. Rasanya nyaman, damai, dan aman, semuanya jadi satu.

"Makasih udah mau jadi istri aku, Sya. Mari bersama sampai maut yang memisahkan."

Syafa hanya mengangguk dan mengucap aamiin dalam hatinya. Bohong jika Syafa tidak tersentuh karena perlakuan dan ucapan Patra.

Bunanya benar, Syafa akan bahagia jika menikahi pria yang tulus mencintainya. Kini, Syafa sadar bahwa keputusannya untuk menerima Patra bukan suatu kesalahan.

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Where stories live. Discover now