38. Restu Untuk Kembali

5K 274 6
                                    

“Pada akhirnya, selayaknya merpati yang kembali pada tuannya, maka cinta pun akan kembali pada pemiliknya.”

🍀🍀🍀

"Ngapain Teteh ke kamar aku?"

Syafa tak peduli protes yang dilimpahkan sang adik. Dengan santainya Syafa mendudukkan diri di kursi kerja Saskara. Syafa kagum dengan kamar adiknya itu.

"Enggak kangen WFH lagi kamu, Dek?"

"Kangen, tapi aku nyaman juga kerja kantoran. Bosen lima tahun, Teh. Nanti lagi aja. Mumpung masih muda mau cari banyak pengalaman."

"Muda katamu?" Syafa memutar kursi hingga kini tubuhnya menghadap pada Saskara. "Umurmu udah 28, Dek. Jangan merasa muda terus. Nikah sana! Jangan nungguin aku, aku udah pernah nikah."

"Dih, siapa juga yang nungguin Teteh." Saskara menyangkal.

Syafa mendengus kesal. "Jangan gengsi kamu, Dek. Buna yang bilang sama aku."

"Buna curang ini."

Syafa tertawa geli melihat kekesalan tampak jelas di wajah adiknya. "Lagian apa yang kamu cari lagi sih, Dek? Rumah udah ada, kan? Jangan ngelak lagi, yayah yang bilang ini. Sana tinggal di sana, jangan khawatirin buna sama yayah lagi, sekarang ada aku. Maafin Teteh buat kamu seolah-olah bertanggung jawab penuh atas buna dan yayah. Harusnya Teteh sebagai anak perempuan yang ngurusnya."

"Teh, jangan bilang gitu. Aku paham keadaan Teteh. Lagipula aku lebih suka di sini, kalau di rumahku, mana ada yang bisa masakin aku tiap hari. Aku bakalan sendirian di sana, lagian masih renovasi dikit-dikit."

Syafa menghela napas. "Oke, kita lupain soal itu. Aku kepo, kamu udah punya calon belum sih?"

"Enggak ada."

"Masa enggak ada yang kamu suka sih, Dek? Atau ada enggak yang suka kamu? Kamu ganteng kok kayak a Shaka, masa enggak laku sih, Dek."

Sabar. Saskara berusaha tersenyum, meskipun hatinya sedikit jengkel dengan ucapan kakak perempuannya itu. "Jangan bahas aku, Teh. To the point aja mau apa ke kamar aku?"

"Enggak asik," cibir Syafa. "Tapi, yaudahlah. Nanti aku cari tahu sendiri aja."

"Ya, ya, terserah kamu, Teh."

Syafa tersenyum puas. "Gitu dong jadi adik. Lagian ya kabar baik buat kamu, aku mau rujuk sama kak Patra."

"Wow, serius kamu?"

Syafa mengangguk. "Aku masih ada perasaan buat kak Patra, lagipula kita pisah bukan karena masalah internal jadi aku pikir masalah kita udah selesai. Keluarga kak Patra udah mau nerima aku sekarang. Terus juga nih, ada anak-anak. Anak-anak berhak bahagia, aku mau mereka merasakan apa yang kita rasakan waktu lihat buna dan yayah."

"Kalau emang Teteh merasa itu yang terbaik, jalani. Aku bantu doa."

Syafa berdecak kesal membuat Saskara menyerngitkan dahinya. "Kenapa lagi?" tanya Saskara frustasi.

"Kamu lempeng banget. Kesel aku. Terharu kek gitu, peluk aku kek, apa gitu. Lempeng banget, kesel aku."

"Kamu hebat, Teh. Aku bangga." Saskara mengucapkan itu seolah-olah tak ikhlas, padahal nyatanya ia sangat bangga dengan keputusan Syafa. Dia bangga memiliki Syafa sebagai kakaknya. Syafa yang kuat, Syafa yang hebat. Namun, Saskara cukup gengsi untuk menunjukkannya. Bahkan apa yang Syafa ketahui dari sang buna perihal pernikahan, itu benar adanya. Saskara ingin Syafa kembali menemukan pasangan lagi baru setelahnya ia akan menikah.

"Dah sana, aku mau tidur!"

Syafa mengangguk dengan wajah kecewanya. "Sana tidur, aku juga enggak mau lagi ke sini. Bye!"

Ma, Papa Dimana? [ Completed ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang