23

20 9 0
                                    

Seperti apa yang dikatakan oleh Harsha minggu lalu, kini keduanya tengah fokus mendengarkan penjelasan dari Laras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti apa yang dikatakan oleh Harsha minggu lalu, kini keduanya tengah fokus mendengarkan penjelasan dari Laras. Setidaknya Annora memperhatikan setiap kata yang terucap. Walaupun memang Harsha lebih memilih menaruh fokusnya pada Annora.

Annora menatap dengan kagum melihat lihainya tangan Laras membentuk tanah liat menjadi sebuah vas, sesuai permintaannya. Tangan lentik itu seolah tengah menari di atas meja putar.

"Sekarang coba langsung, deh," ucap gadis itu memberikan tanah liat pada Annora.

"Ini kalo malah nggak jadi apa-apa, gimana?" tanya Annora sedikit takut.

"Ya, nggak apa-apa. Kan emang lagi belajar," jawabnya diselingi kekehan kecil. Pertanyaan yang cukup sering ia dapati saat ada pengunjung yang ingin mencoba membuat gerabah.

"Nggak apa, Ra. Laras mah banyak stoknya," ucap Harsha yang langsung menerima tatapan tajam dari Laras.

"Kalo lo harus bayar per-tanah liatnya."

Dengan petunjuk dari Laras, Annora memulai dengan membanting tanah liat itu tepat di tengah meja putar di hadapannya. Tangannya lalu memukul tiap sisi tanah liat.

"Cukup, sekarang coba kakinya injek ke situ, jangan terlalu diinjek." Laras melanjutkan instruksinya. "Nah, stabilin kecepatannya, ya. Terus basahin tangannya."

Petunjuk-petunjuk terus diucapkan oleh Laras guna membantu Annora. Gadis itu hanya berdiri tepat di sebelah Annora. Seolah mengatakan jika perlu bantuan, dirinya akan siap.

"Harusnya lo yang jadi nyamuknya, bukan gue," protes Harsha melihat keseruan dari dua gadis itu.

"Apa sih? Kan lo juga udah biasa," balas Laras.

Bosan hanya melihat keakraban dua gadis yang baru bertemu sekitar satu jam lalu, Harsha lalu berdiri. Ia mulai mendekat ke arah meja putar sang gadis. Bibirnya tersenyum. Otaknya seakan dipenuhi oleh ide-ide untuk menjahili Annora.

"Harsha!" seru Annora kala karyanya yang akan jadi itu justru dihancurkan oleh lelaki yang kini tertawa keras. "Udah mau jadi padahal, ih."

"Nggak seru. Masa baru pertama coba udah bagus, Ra," ujar Harsha membela diri.

"Lo besok-besok gue larang ke toko gue, deh. Ngerugiin."

***

Berkunjung ke museum rasanya hal yang asing baginya. Setidaknya sebelum ia dipertemukan dengan sosok Geandra. Gadis asing yang memukul pipinya di awal pertemuannya itu.

Mario yang sama sekali tidak tertarik dengan dunia itu, seakan dibuat tenggelam oleh Geandra. Seolah apapun yang menarik bagi Geandra, akan tampak menarik di matanya.

"Ge, nih minumnya." Mario menyodorkan sebuah gelas plastik berisi Ice Chocolate pesanan sang gadis.

Tangannya menerima, namun pandangan matanya masih menatap lurus ke arah danau yang ada di depannya.

"Ge, apa yang buat lo suka ngelukis?" Sebuah pertanyaan itu lolos dari bibir Mario.

"Hmm... apa ya. Seru aja, sih liat hasil pemikiran orang. Sama kayak orang yang nuangin pemikirannya lewat tulisan, gue ngerasa kalo lukisan pun punya bahasanya sendiri buat sampe ke penikmatnya," ucap Geandra. "Terus juga, gue ngerasa nyaman pas ngelukis,"

"Awal lo suka ngelukis karena emang lo-nya atau orang tua?" tanya Mario lagi.

"Gue. Terlebih pas otak gue cukup berisik, gue tuanginnya ke kanvas."

"Besok kalo berisik lagi, terus cat nya abis, lo bisa kabarin gue."

"Kakak mau beliin?" canda Geandra.

"Boleh, tapi maksudnya, gue juga bisa dengerin cerita lo. Nggak cuma kanvas aja."

Geandra terdiam. Pikirannya seolah kembali pada memori beberapa hari lalu. Saat lelaki yang kini berdiri menyandarkan diri ke pagar pembatas di sebelahnya mengungkapkan rasanya.

Rasa bersalah seakan tumbuh. Rasa bersalah karena tidak kunjung memberikan jawaban.

"Kak..." panggilnya. Membuat Mario menolehkan kepalanya.

"Kenapa, Ge? Laper?"

Gea menggelengkan kepalanya.

"Kak Mario cuma penasaran aja sama gue, nggak?"

Menerima pertanyaan itu, Mario cukup bingung.

"Kalo lo mikirnya gue nembak lo karena cuma sekedar penasaran, seenggaknya gue bisa pastiin, bukan itu alasannya, Ge," jelas Mario. Gea dapat menangkap nada serius dari tiap kata yang keluar dari mulut lawan bicaranya.

"Gue emang nggak bisa janji buat lo terus seneng, tapi gue janji buat terus usahain yang terbaik buat lo." Mario menghadapkan badannya ke arah Geandra. Benar-benar ingin terfokus pada gadis yang tengah beradu tatap dengannya. "Karena pada dasarnya, tiap hubungan pasti ada seneng, ada sedihnya. Gue mau, pas lo sedih, gue ada buat lo, Ge."

***

Perjalanan pulang mereka dihiasi dengan tawa. Walaupun memang tawa milik Harsha lebih dominan di dalam mobil itu. Terlebih saat Harsha membawa topik tentang Annora yang marah karena menghancurkan karya pertamanya.

"Eh, Sha. Lo kayaknya akrab banget sama Laras?" tanya Annora, kepalanya ditolehkan ke arah sang pengemudi.

"Oh iya, gue belom cerita, ya? Dia temen gue pas SMA dulu. Orang tuanya punya usaha pottery dari dulu. Pas pulang sekolah kadang gue suka ke sana."

"Pasti rusuh ya lo?" ledek Annora yang ditimpali dengan tawa dari Harsha.

"Ya namanya juga anak-anak."

Saat tawa itu reda. Giliran sang hening yang menemani perjalanan mereka. Harsha yang fokus dengan jalanan, juga Annora yang fokus dengan rintik hujan di luar.

"Kalo lo dilahirin kembali, lo mau jadi apa?" tanya Annora sebagai pembuka topik baru.

"Hmm... kalo lo mau jadi apa?"

"Batu?"

"Hah? Kenapa?"

"Biar diem aja. Ada jadi berkah, nggak juga ya nggak apa-apa."

Harsha sedikit tertawa mendengar alasan sang gadis.

"Bener, sih. Apalagi kalo lagi kebelet, bisa dikantongin," balas Harsha ditengah tawanya. Mengundang tawa Annora turut hadir mengetahui maksud sang lelaki.

"Tapi, Ra. Lo harus tau, hadir lo sekarang pun emang berkah. Mungkin bukan buat semua orang. Seenggaknya buat gue juga Gea, lo itu berkah."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang