16

23 13 0
                                    

Perpustakaan sudah dipenuhi oleh banyak mahasiswa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perpustakaan sudah dipenuhi oleh banyak mahasiswa. Bahkan antrian panjang untuk masuk ke dalam sudah nampak di depan matanya. Tidak heran, pekan ujian tengah semester masih belum usai. Banyak yang memilih untuk memanfaatkan fasilitas kampus itu untuk belajar, pun dengan dirinya.

Annora menghela napasnya. Nampaknya ia harus mengurungkan niatnya untuk memasuki gedung penuh buku itu. Beruntung ia sudah meminjam buku yang dibutuhkan untuk belajarnya.

Gadis yang kini mengenakan kemeja berwarna hijau itu kini memutar balik arah langkahnya. Solar Beans adalah tempat tujuannya kali ini.

"Seenggaknya bisa belajar sambil makan," ucapnya mencoba menyemangati diri.

Saat pintu kaca itu terbuka, hiruk pikuk ramainya kedai seolah menyapa rungunya. Ia mengerjapkan matanya. Ternyata yang berpikir demikian tidak hanya dirinya. Pengunjung siang ini cukup ramai. Buku serta laptop turut hadir berdampingan dengan makanan juga minuman yang mereka pesan.

"Nora!" seru seseorang dengan name tag Cloud yang baru saja mengantarkan pesanan. Lelaki itu lalu menghampirinya, bibirnya menyunggingkan senyum seakan turut memberi salam. "Di sebelah jendela sana ada kursi kosong, kok!" bisiknya.

Annora sedikit terkejut. Bagaimana lelaki yang baru dikenalnya ini tahu, pikirnya.

"Tadi Harsha udah bilang. Gih, sana. Pesenannya nanti chat aja," ucapnya lagi seolah tahu pertanyaan yang ia pikirkan.

Annora lalu melangkah masuk, kakinya menuju meja yang tadi ditunjukkan oleh Jovano. Ia bersyukur, ia tidak perlu mencari kedai lain dan membuang waktunya yang terbatas itu.

"Enak kan, pake orang dalem?" bisik Jovano menaruh segelas es cokelat ke atas meja di hadapannya.

"Thanks," balasnya. Jovano hanya dapat membalas dengan senyuman. Ramainya pengunjung membuatnya tidak dapat duduk di hadapan gadis itu. Tidak ingin mendapat teguran dari si pemilik bisnis ini. Terlebih ia adalah pegawai baru di sana.

Annora lalu membuka bukunya. Mencoba menenggelamkan diri untuk memahami kata demi kata juga angka demi angka di hadapannya. Tidak jarang dahinya mengerut kala sang otak kesulitan memahami maksud sang buku.

"Maknya Rora!" Suara yang dikenalnya itu terdengar. Di hadapannya kini sudah duduk sosok Mario yang tersenyum ke arahnya. Di hidungnya bertengger kacamata. Jarang sekali ia melihat lelaki di hadapannya ini mengenakan kacamata, pikirnya.

"Kak Mario?"

Lelaki itu tidak menjawab. Netranya justru terfokus pada buku-buku yang dibaca oleh lawan bicaranya itu. "Loh, lo Fakultas Bisnis?"

Annora menganggukkan kepalanya. "Kok bisa tau, kak?"

"Itu, bukunya. Kirain lo bakal milih jurusan sama kayak Gea," balas Mario menjawab pertanyaan dari gadis di hadapannya.

Gadis itu sedikit terkekeh lantaran bukan hanya sekali ia dikira mengambil jurusan yang sama dengan saudaranya itu.

"Nggak, gue mah nggak jago kayak Gea."

"Mana buktinya?"

Annora terkekeh atas pertanyaan dari lawan bicaranya. Seakan tengah berbincang pada anak kecil yang tidak ingin mengakui kalahnya. "Udah, ah. Gue mau lanjut belajar, kak."

***

Jika hari-hari sebelumnya dirinya yang mengajak gadis di sebelahnya untuk datang ke taman ini. Malam ini, setelah jam kerja mereka usai, Annora mengatakan bahwa ia ingin pergi ke taman ini. Tentunya Harsha tidak menolak. Lelaki itu dengan cepat mengiyakan ajakan sang gadis.

"Apa yang bikin lo kangen sama taman ini?" tanya Harsha. Malam ini, mereka gagal menyantap batagor yang biasa mereka nikmati kala menghabiskan waktu di taman dekat hunian milik Jovano itu.

"Hmm... Batagor?" Annora lalu terkekeh atas jawaban asalnya. "Suasananya, sih. Kayak, liatin anak-anak main, ketawa, itu udah jadi obat buat gue," lanjutnya lagi.

Harsha yang tadi memfokuskan pandangannya pada Annora, lalu menolehkan kepalanya setelah mendengar jawaban sang gadis. Mencoba menikmati suasana yang dimaksud.

"Terus kenapa ngajak gue?"

Annora sedikit tercekat atas pertanyaan itu. Ia pikir, mengajak seseorang yang biasa menemaninya adalah hal yang wajar. "Sorry, gue pikir lo mau nemenin gue," ucapnya dengan suara lirih.

Harsha tersenyum. "Ya, emang." ucapnya.

"Sha, gue mau tanya, deh."

"Satu pertanyaan lima ribu, ya?" ledek lelaki itu.

"Oke, gue banyak duit abis gajian," balas Annora.

"Ya, gue juga. Gajian gue banyak!" seru lelaki itu seolah tak mau kalah.

"Gih, lo berantem sama anak-anak itu aja sana." Keduanya lalu tertawa. Seakan sadar atas tingkah kekanakan keduanya.

"Sha, ada cowok yang ngirimin gue pertanyaan." Nada serius yang keluar dari mulut Annora setelah menghentikan tawanya itu, sukses meraih perhatian sang lelaki kembali.

"Pertanyaan gimana?" Harsha rasanya dapat merasakan degupan jantungnya. Tanpa ia sadar, bibirnya sudah tergigit sang gigi.

"Pertanyaan tentang apa yang cewek suka, cewek biasanya kalo bosen ngapain, ya kayak gitu lah." Harsha mendapati sedikit rona merah di pipi sang gadis.

"Lo suka sama dia?" tanya Harsha.

Annora terdiam. Ia bingung akan jawaban yang harus ia katakan.

"Kayaknya mustahil kalo nggak suka sama dia, Sha," jawabnya. Kepala Annora yang tadi tegak lurus menatap anak-anak kecil yang berlarian, mulai tertunduk. "Gue tau nggak ada yang sempurna, tapi gue ngerasa dia sempurna di tengah ketidak sempurnaan gue."

"Padahal lo sempurna," gumam Harsha. Sayangnya gumaman itu tidak tertangkap oleh rungu sang gadis, walaupun jarak duduk mereka hanya sejengkal.

"Lo pernah nggak ngerasain, pas lo capek sama dunia yang maksa lo berdiri tegak, terus lo nemuin tiang yang bisa jadi penyangga buat lo?" tanya Annora.

"Pernah, tapi kalo lo terlalu nyender ke tiang, lo bisa kejungkel," balas Harsha.

Mengerti akan maksud lelaki yang ia anggap teman itu, Annora sedikit terkekeh. "Kayaknya gue udah kejungkel, deh."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang