13

19 16 0
                                    

Ia pikir suasana semenegangkan ini hanya ia rasakan saat ujian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ia pikir suasana semenegangkan ini hanya ia rasakan saat ujian. Ia tidak pernah berpikir jika atmosfer yang sama dapat dirasakan di ruang makan ini, saat ini. Terlebih dengan tatapan mata seolah siap menyantapnya yang dilemparkan oleh sang tante.

Di sebelahnya, Geandra justru dengan santai memainkan ponselnya. Entah berpura-pura tidak terintimidasi atas atmosfer ini atau memang benar-benar tidak merasakan tegang yang ia rasakan.

Annora melayangkan pandangnya pada jam dinding. Sudah lewat pukul tujuh, namun sosok dari kepala keluarga belum juga hadir di tengah mereka. Sebuah hal yang tidak biasa terjadi, mengingat betapa berartinya waktu bagi lelaki yang ia panggil dengan sebutan Om itu.

"Tante, Om Dharma masih belum pulang?" Annora mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya.

"Gak tau, tuh," jawab Sesil. Sang tante lalu berdiri dari duduknya, berjalan menuju ruang depan. Geandra berdecak kesal melihat perlakuan sang ibu pada saudaranya.

Sosok Bi Inah yang sejak tadi hanya mengintip dari balik dinding berjalan mendekat ke arah dua gadis yang tengah sibuk dengan pikirannya. Tangannya lalu menepuk bahu kedua gadis itu.

"Sabar, ya," ucapnya dengan lembut.

"Malem semua! Sorry, Papa telat." Akhirnya suara yang dinanti itu tertangkap oleh rungu mereka. Sesil yang tadi pergi, kini sudah berjalan membuntuti suaminya. Wanita itu membantu membawakan tas milik sang suami.

"Makasih Nora, Gea udah sempetin waktunya buat makan malem ini," ucap Dharma setelah mendudukan dirinya. Netranya menatap lekat ke arah Annora yang masih menundukkan kepalanya. Seolah takut menangkap tatapan sang istri.

Makan malam itu berjalan seperti biasa. Geandra bersyukur makan malam kali ini tidak diwarnai keheningan saja. Sang ayah beberapa kali menanyakan perihal kuliah dan keseharian dirinya juga Annora selama dua bulan terakhir.

Setelah ia menyelesaikan makanannya, Dharma lalu memastikan yang lain juga sudah selesai menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh Bi Inah. Lelaki itu lalu mengeluarkan sebuah amplop dari dalam saku jasnya.

"Bi Inah, duduk sini juga," panggilnya pada wanita paruh baya yang kembali mengintip.

"Sebelumnya saya tanya sama kamu, ada hal yang saya nggak tau tentang Nora?" Pertanyaan yang dilayangkan Dharma menjadi pembuka topik yang ingin dibahasnya.

"H-hal apa, ya?"

Dharma menghela napasnya. "Kalo saya ingatkan tentang vas bunga, kamu inget?"

Sesil terdiam. Netranya melirik ke arah Bi Inah yang turut menundukkan kepalanya.

"Gea, Ma yang cerita ke Papa." Geandra angkat bicara sebelum amarah sang ibu tertuju pada orang lain.

"Gea," lirih Annora. Kepalanya yang tadi tertunduk, kini ditolehkan ke sebelah kanannya. "Kamu liat?" Tangan Geandra lalu bergerak untuk menggenggam tangan Annora yang sudah mendingin.

"Lalu kalo saya tanya perihal kamu yang bilang Nora anak saya, kamu inget?" Dharma kembali bertanya pada Sesil.

"Kenapa? Bukannya bener?!" Dharma pikir istrinya itu akan langsung mengakui kesalahannya. "Emang bener kan kalo Nora itu anak kamu sama Liliana?!" lanjut Sesil semakin menaikkan nada suaranya.

"Apa yang buat kamu mikir kayak gitu?" Pertanyaan dari Dharma membuat Sesil berdecak kesal.

"Semua perhatian yang kamu kasih ke Nora itu nggak wajar."

"Di mana letak nggak wajarnya?"

"Gea anak kamu!"

Perdebatan itu terus berlanjut. Geandra memejamkan matanya. Tangannya ia gunakan untuk menutup telinganya. Gadis itu, untuk pertama kalinya menyaksikan kedua orang tuanya beradu mulut.

"Kita udah pernah bahas ini. Saya udah janji sama Liliana buat jaga Juan sama Nora. Saya gagal buat jaga kakak saya sendiri, apa salah kalo saya ngerasa bersalah terus gunain Nora sebagai kesempatan kedua saya?!" Dharma lalu membuka amplop yang tadi dikeluarkannya. "Bahkan saya harus tes DNA buat nunjukkin ke kamu?"

Suara teriakan yang tadi saling bersautan, kini reda. Sesil membaca lamat-lamat isi kertas yang disodorkan oleh sang suami. Annora dan Bi Inah semakin menundukkan kepalanya, dan Geandra silih berganti memandang penghuni di ruang makan itu.

***

Kembali pulang harusnya menjadu suatu hal yang dirayakan. Terlebih jika ini adalah pertama kali bagi lelaki itu untuk menginjakkan kakinya keluar dari atap yang menaunginya bertahun-tahun itu. Namun entah mengapa, Harsha justru nyaris memutar balik arah tujuannya kala mendapati sosok sang ayah yang telah menunggunya di teras rumah.

Beberapa rambut yang mulai memutih itu nampak di balik jajaran rambut hitamnya. Kacamata bertengger di hidungnya, membantunya untuk membaca kata demi kata dari gawai yang ia pegang. Sesekali tangan kanannya membawa secangkir kopi ke bibirnya.

"Ayah," ucapnya. Harsha tidak tahu alasan pasti mengapa sosok di hadapannya memintanya untuk segera kembali.

"Gimana kabar kamu?" tanyanya dengan nada dingin.

"Baik," jawab Harsha. Lelaki itu lalu mendudukkan dirinya. Hanya satu meja kecil yang menjadi penghalang raga mereka. Namun bagi Harsha, ada jurang yang luas yang menjadi penghalang pikiran mereka.

"Pulang. Ayah udah jadwalin makan malam sama keluarga Prasetyo," ucap sosok yang disebutnya ayah itu. Matanya masih fokus pada gawainya, sama sekali tidak melirik barang sedetik ke arah sang anak.

"Harsha pulang dulu, jaga kesehatan Ayah," pamitnya. Ia pikir dengan kepergiannya akan membuat sang ayah membatalkan niatnya. Siapa sangka jika waktu dua bulan tidak bertemu, pria paruh baya itu justru tetap teguh pada pendiriannya.

Harsha tidak ingin hidupnya disetir oleh sang ayah. Harsha tidak butuh materi yang keluar dari kantung sang ayah jika harga yang harus ia bayar adalah kebebasannya.

"Harsha lebih pengen tinggal sama Bunda. Kenapa nggak bawa Harsha, Bun?" lirihnya.

 Kenapa nggak bawa Harsha, Bun?" lirihnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Whisper of the Silent Hearts [Completed]Where stories live. Discover now