03

43 28 0
                                    

Annora sama sekali tidak berpikir jika mengemban dua tugas adalah hal yang cukup memberatkan pundaknya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Annora sama sekali tidak berpikir jika mengemban dua tugas adalah hal yang cukup memberatkan pundaknya. Membagi waktu untuk akademik saja rasanya sudah menyita banyak waktunya. Ditambah, ia harus bekerja demi menunjukkan bahwa ia pun mampu bertanggungjawab atas pribadinya.

Ia benar-benar harus bersyukur, pasalnya sang paman selalu memberikannya uang saku yang lebih dari cukup. Karenanya, ia tidak perlu mengikat perutnya untuk mengejar uang semester yang cukup besar itu saat ia pergi dari istananya sang paman. Uang saku yang ditabungnya sudah mencukupi untuk membayar tagihan rutinnya itu.

Pagi yang biasa ia awali dengan latihan tersenyum itu mulai tergeser dengan dirinya yang melepaskan napas beratnya. Kuliahnya baru dimulai beberapa hari, namun waktu tidurnya sudah terasa sangat berkurang. Tugas demi tugas rasanya langsung menyerbu seketika saat kelas dibubarkan oleh dosen-dosen itu.

"Lo ada kelas pagi, kan? Buruan, udah jam setengah tujuh!" Beruntung suara dari Geandra terdengar olehnya saat matanya hendak terpejam lagi. Saudaranya itu lalu berbalik memunggunginya, melanjutkan tidur. Rasa iri menyeruak di hati Annora. Ia pun ingin kembali ke alam mimpi.

"Padahal tadi lagi seru ngejer naga," gumamnya.

Langkahnya ia seret untuk bersiap pagi itu. Annora menolak untuk menyerah. Ia harus bertanggungjawab atas keputusannya, bukan? Toh, sampai kapan ia harus menggantungkan nasib pada pamannya. Annora pikir, ia sudah cukup dewasa untuk melanjutkan langkahnya sendiri.

"Nanti lo sarapannya beli di depan aja ya? Gue hampir telat!" serunya sebelum menutup pintu kamar kos, meninggalkan Geandra yang mungkin masih melanjutkan mimpinya. Pesan yang sebenarnya tidak harus ia teriakkan, mengingat waktunya yang memang sangat terbatas saat semester baru dimulai dan kebiasaan mereka yang selalu membeli sarapan daripada memasak.

Annora menyempatkan diri untuk mengintip tempat makan Rora, botol berisi makanan kucing itu sudah dipegangnya. Namun setelah dilihatnya tempat makan itu masih terisi, ia mengurungkan niatnya dan melanjutkan perjalanan.

"Tumben banget udah ada isi," gumamnya.

Fokus pada penjelasan sang dosen bukanlah hal yang sulit bagi Annora. Namun, berbeda dengan hari ini. Pikirannya terus terpaku pada kucing kecil yang biasa berkeliaran di sekitar area kosnya. Beberapa kali ia mendapati tempat makan itu sudah terisi.

"Apa Rora udah jarang ke situ lagi ya?" gumamnya. Khawatir pada sosok mungil itu seolah memenuhi tiap sisi otaknya.

"Heh, diliatin sama Bu Anggi!" Kiara berbisik padanya. Mencoba memberi tahu adanya tatapan yang mengancam. Beruntung saat temannya itu memeringatinya, ia dengan cepat berpura-pura tengah berpikir atas penjelasan sang dosen berkacamata itu.

"Thanks, Ra," bisik Annora saat akhirnya kelas yang dipenuhi aura ketegangan itu usai.

Kiara menganggukkan kepalanya singkat. "Eh, lo kenal sama si Sunrise?" Sebuah pertanyaan mengudara dari bibir temannya yang kini tengah membereskan barang-barangnya.

Whisper of the Silent Hearts [Completed]Where stories live. Discover now